KABAR INDONESIA RAYA

KABAR INDONESIA RAYA
Bandung

Announcement:

This is a Testing Annocement. I don't have Much to Say. This is a Place for a Short Product Annocement

Blogroll

Imam Supriadi Bersiap Unggah Video Kasus Baru Ahok

BETAKO PS "MERPATI PUTIH"

BETAKO PS "MERPATI PUTIH"
Pelatihan Dasar Bagi Anak-Anak

Rabu, 25 Juni 2014

Mantan Sekda Solo: Kesederhanaan Jokowi Hanya Pencitraan Belaka

UPDATED: Minggu, 22 Juni 2014 - 19:42:01 WIB | Powered by: 

© net
Capres Joko Widodo

HARIANJAMBI.COM, SOLO - Penampilan capres Joko Widodo (Jokowi) yang terkesan sederhana dan merakyat, dengan baju putih atau kotak-kotak, celana hitam serta sepatu ket dinilai hanya sebuah pencitraan belaka. Tujuannya adalah merebut simpati atau hati rakyat, agar citranya naik.
Supradi Kertamenawi, mantan Sekda Kota Solo era Jokowi ini bahkan terang-terangan menyebut, penampilan mantan bosnya tersebut hanyalah sebuah pencitraan belaka. Pasalnya dulu sewaktu di Solo, Jokowi tak pernah mengenakan pakaian seperti itu.
"Dulu waktu menjadi wali kota apa pernah pakai pakaian seperti itu. Pakainya ya jas dan dasi, selalu jas dan dasi setiap hari. Sekarang kan nyatanya seperti itu. Kalau yang ngerti, ya, Jokowi nyatane mung (ternyata hanya) bohong," ujar Supradi kepada merdeka.com, Minggu 22 Juni 2014.
Supradi mengaku tak pernah mempunyai permasalahan pribadi dengan mantan bosnya tersebut. Namun dirinya justru ingin meluruskan, ingin memberitahu kepada masyarakat yang akan memilih calon pemimpin nanti. Jangan sampai, masyarakat salah saat memilih calon presiden karena jika salah, tentu masyarakat yang akan dirugikan.
Mengenai banyaknya proyek yang mangkrak dan tak terurus, seperti citywalk, terminal, pasar tradisional, pembangunan taman Supradi menilai hal tersebut sebagai kegagalan program.
"Kalau saya disuruh menilai, dikira pendapat saya nanti subyektif. Silakan njenengan (anda) lihat sendiri, silakan njenengan saksikan sendiri, kondisi terminal seperti apa, taman Sekartaji seperti apa, pasar banyak yang kosong, railbus seperti apa? Kalau masyarakat masih ragu, karyawan-karyawati di balai kota Solo saya pikir banyak yang tahu seperti apa," pungkasnya. (*)

Seorang Terduga Teroris Diamankan Densus 88 di Cipayung

Selasa, 24 Juni 2014 21:37 WIB

Seorang Terduga Teroris Diamankan Densus 88 di Cipayung
Kompas.com
Rikwanto 
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Adi Suhendi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seorang terduga teroris diamankan tim Densus 88 Antiteror Polri sekitar pukul 17.45 WIB di Jalan Dalang RT 11 RW 05, Miunjul, Cipayung, Jakarta Timur, Selasa (24/6/2014).

"Telah berlangsung penangkapan seseorang yang diduga teroris di rumahnya atas nama Akbar alias Muri alias Donal," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Rikwanto kepada wartawan.

Pria berusia 28 tahun tersebut diamankan anggota Densus 88 Antiteror Polri dikediamannya.

Adapun beberapa barang bukti yang diamankan diantara selongsong senapan yang sdh dirakit menjadi munisi, dua buah laptop, pipa paralon yang sudah dirakit, buku ajaran jihad dan Tasaud, serta senapan angin.

"Selanjutnya pelaku yang diduga teroris beserta barang bukti diamankan ke kantor Densus 88 Mabes Polri untuk pemeriksaan lebih lanjut," ungkapnya.
Penulis: Adi Suhendi
Editor: Hasanudin Aco

Selasa, 17 Juni 2014

Makna Strategis Kunjungan Presiden Putin Ke Indonesia

Penulis : Hendrajit


Bagaimana memaknai kunjungan Presiden Vladimir Putin ke Indonesia minggu pertama September mendatang? Tentunya sudah bisa ditebak, yaitu untuk menjalin suatu kerjasama strategis Indonesia-Rusia di segala bidang sebagaimana pernah dilakukan semasa pemerintahan Presiden Sukarno dan pimpinan tertinggi Uni Soviet (sekarang Rusia) Nikita Khrushchev di era 1950-an dan 1960-an.

Ketika itu, hubungan bilateral Indonesia dan Soviet tidak saja berlangsung di bidang kerjasama politik dan militer, tapi juga meluas di bidang kebudayaan dan IPTEK(Ilmu Pengetahuan-Teknologi). Dan yang luar biasa dari eratnya hubungan Indonesia-Rusia semasa pemerintahan Presiden pertama Indonesia tersebut, kedekatan dan persahabatan Indonesia-Rusia sama sekali tidak diikat oleh kesamaan ideologi antar kedua negara.

Seperti kita ketahui, waktu itu Amerika Serikat dari kubu kapitalisme liberal sedang terlibat perang dingin dengan Uni Soviet dari kubu Komunisme. Namun berkat paradigma Politik Luar Negeri bebas dan aktif yang dianut Indonesia sejak 1948, Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Sukarno berhasil menjalin persahabatan dan kerjasama strategis dengan negara-negara berpaham komunis seperti Soviet dan bahkan Republik Rakyat Cina.

Di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai momentum yang cukup bagus untuk menjalin kembali kerjasama strategis dengan Rusia yang dulunya lebih dikenal dengan nama Uni Soviet.

Mengapa penting bagi Indonesia? Saat ini politik luar negeri Indonesia sangatlah penting untuk memperluas mitra strategisnya di seluruh dunia. Dan salah satu yang menarik dari segi ini adalah Rusia. Karena negara beruang merah ini punya potensi besar. Di antaranya, tentu saja di bidang kerjasama militer dan keamanan. Dengan kata lain, kerjasama strategis Indonesia-Rusia di bidang militer dan keamanan bisa menjadi “pintu pembuka” untuk terjalinya suatu kemitraan strategis di bidang-bidang lain di luar bidang politik dan militer. Seperti Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Menurut sebuah sumber dari Departemen Luar Negeri, dalam kunjungan Presiden Putin ke Jakarta September mendatang, Rusia akan menawarkan penjualan pesawat tempurnya yang dianggap merupakan produk militer Rusia yang terbaru dan efektif. Dan dengan harga yang layak dan jauh lebih murah dibandingkan dengan produk-produk persenjataan yang berasal dari negara-negara Eropa Barat dan Amerika.
Bahkan menurut sumber-sumber yang bergerak dalam bisnis peralatan militer kepada penulis, meski harganya jauh lebih murah, peralatan militer produk Rusia mutu dan kualitasnya tidak kalah dibandingkan produk peralatan militer Eropa Barat dan Amerika. Bahkan dalam beberapa produk tertentu, negara-negara barat mutunya lebih rendah dan buruk.

Dan yang lebih menarik lagi, dalam menjual peralatan militernya ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia, Rusia sama sekali tidak mengaitkannya dengan kepentingan-kepentingan atau agenda politik yang tidak ada hubungannya dengan masalah bisnis dan perdagangan. Dan ini tentunya berbeda 180 derajat dibandingkan Amerika Serikat yang pada era pemerintahan Presiden Bill Clinton, misalnya, selalu mengaitkan penjualan peralatan militernya ke negara berkembang, termasuk Indonesia, dengan komitmen untuk menegakkan demokratisasi politik dan hak-hak asasi manusia.

Alhasil, seperti kita lihat dalam kasus Indonesia, Amerika sempat memberlakukan embargo penjualan senjata kepada Indonesia akibat tertembaknya beberapa aktivis pro kemerdekaan Timor Timor di Santa Cruz pada 1991 lalu. Bahkan akibat dari insiden Santa Cruz tersebut, Amerika juga memberhentikan pengirimian personil TNI dalam program pelatihan militer di Amerika Serikat melalui Program IMET.

Begitulah sisi menjanjikan dari kerjasama militer dan pertahanan Rusia-Indonesia. Dalam menjual peralatan militernya, Rusia tidak memberlakukan syarat-syarat politik yang tidak berkaitan dengan masalah-masalah bisnis dan perdagangan.

Sisi lain yang menarik dari kunjungan Putin ke Jakarta awal September mendatang, adalah di bidang kerjasama ruang angkasa. Dan untuk bidang yang satu ini, Rusia sejak masih Uni Soviet, memang termasuk negara unggulan. Buktinya, pada 1961 Rusia sudah dikenal sebagai salah satu negara yang cukup maju dalam bidang itu. Pernah dengar nama Yuriy Gagarin? Dialah manusia pertama yang menginjak bulan di ruang angkasa.

Maka menurut sumber di lingkar dalam pemerintahan Yudhoyono, dalam kunjungan Putin nanti, akan mengusulkan sebuah kerjasama strategis di bidang ruang angkasa kepada Indonesia. Untuk kongkritnya, Rusia akan memberi bantuan yang semaksimal mungkin agar para angkasawan Indonesia bisa menginjak bulan di ruang angkasa. Kalau informasi ini benar, dan rencana strategis ini bisa terlaksana dengan lancar sesuai skenario, maka tak pelak lagi reputasi Indonesi di dunia internasional akan semakin meningkat. Dan yang lebih penting dan strategis lagi, ini sangat strategis bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi Indonesia. Sehingga, Indonesia dan Rusia akan memasuki sebuah era baru dari kerjasama strategis yang mungkin akan jauh lebih kualitatif dibandingkan dengan kerjasama Indonesia-Soviet semasa pemerintahan Sukarno dan Nikita Krushchev di era 1950-60-an.

Kerjasama di Bidang Penanggulangan Bencana 

Salah satu ancaman yang berbahaya untuk abad 21 adalah Bencana Alam seperti gempa bumi, Tsunami, kebakaran hutan, banjir dan sebagainya. Akibat dari itu, ratusan ribu jiwa tewas secara mengenaskan.  Juta orang kehilangan tempat tinggal dan harta benda. Kerugian keuangan negara mencapai miliaran dollar Amerika.

Dalam konteks tersebut, pemerintah di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia, harus memiliki strategi dan peralatan yang cukup canggih, untuk melakukan pencegahan sedini mungkin dan mengantisipasi terjadinya bencana. Betapa tidak. Dalam bencana Tsunami yang melanda Aceh pada 2005 lalu, 300 ribu orang lebuh tewas. Kejadian dalam skala yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Pulau Nias.

Kebakaran hutan juga melanda Kalimantan dan Sumatera Utara, sehingga mengundang kecaman dari Malaysia dan Singapore.

Rentetan bencana alam dan ketidakmampuan pemerintah Indonesia dalam pencegahan dini dan penanggulangan pasca bencana, sudah selayaknua jika Indonesia bertekad untuk tidak membuat atau mengulang kesalahan serupa di masa depan.

Untuk itu, belajar dan menyerap ilmu-teknologi dari negara-negara lain, tentunya merupakan opsi yang cukup strategis untuk diterapkan Indonesia. Nah, dalam soal ini, lagi-lagi Rusia dikenal memiliki reputasi sebagai negara yang cukup efektif dalam membangun sistem penanggulangan bencana. Dalam membantu Indonesia dalam menanggulangi situasi pasca bencana, Rusia sudah membuktikannya secara nyata.

Berkat bantuan pesawat Amphibi Be-200(Multipurpose Amphibious Jet) dalam kebakaran hutan di Kalimantan tahun lalu, ternyata Rusia tidak saja berhasil membantu penanggulangan pascabencana kebakaran hutan, bahkan ratusan ribu warga Indonesia berhasil diselamatkan hidupnya.

Sumber departemen luar negeri mengatakan kepada penulis, bahwa fakta ini menurut rencana akan menjadi pertimbangan penting untuk tawaran bantuan Rusia di bidang teknologi kepada Indonesia. Salah satu pertimbangannya adalah, bahwa dengan belajar dari pengalaman Rusia membantu Indonesia dalam kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera Utara tahun lalu, pihak Kementerian Negara Riset dan Teknologi berpandangan bahwa jika Indonesia memiliki Multipurpose Amphibious Jet ala Be-200, maka jumlah korban akibat kebakaran hutan maupun bencana alam lainnya yang memerlukan evakuasi korban secepatnya, bisa dikurangi seminimal mungkin. Sekaligus menghindari kecaman keras dari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapore.

Singkat cerita, dalam situasi saat ini yang mana Indonesia terkesan semakin mendekat ke dalam pengaruh orbit Amerika Serikat, berbagai peluang kerjasama militer dan teknologi seperti tersebut di atas, kiranya perlu disambut dengan gembira. Sehingga kunjungan Putin ke Jakarta, bisa dibaca secara strategis sebagai kekuatan penyeimbang yang cukup signifikan tidak saja bagi Indonesia, tapi juga bagi kawasan Asia Tenggara yang belakangan ini menjadi target militer Amerika untuk dijadikan sekutu militer melalui suatu pakta pertahanan(untuk soal ini, bisa dibaca artikel penulis mengenai ADF di situs ini juga).

Beberapa pejabat senior kedua negara, menurut sumber penulis di Departemen Luar Negeri, kabarnya akan membahas kerjasama di bidang penanggulangan bencana. Bahkan bisa jadi, akan segera diadakan penandatanganan perjanjian kerjasama di antara kedua negara. 

Bahkan informasi lain yang tak kalah penting, juga akan dibahas mengenai forum bantuan Rusia dalam penanggulangan bencana alam, sehingga ketika Indonesia memerlukan bantuan Rusia, sudah akan tersedia suatu mekanisme yang memudahkan terjalinnya kerjasama dan bantuan dari Rusia. Begitu pula sebaliknya, jika negara-negara lain memerlukan bantuan Indonesia di bidang penanggulangan bencana. Sebab siapa tahu dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia sudah mampu menguasai ilmu Pengetahuan dan teknologi dalam penanggulangan bencana.

Kerjasama Bidang Energi

Aspek strategis lain yang kiranya akan menjadi pembahasan penting dalam kunjungan Putin ke Jakarta adalah di bidang energi. Kita tahu, Indonesia adalah negara eskportir gas, dan hingga kini masih tercatat sebagai salah satu eksportir gas terbesar di Asia Pasifik.  Maka dari itu, penting sekali bagi Rusia untuk menjalin koordinasi dengan Indoensia di bidang ini.

Dalam pada itu, kerjasama Indonesia-Rusia di bidang energi ini, pada perkembangannnya bisa menjadi “pintu masuk” untuk kerjasama strategis Indonesia-Rusia membendung pengaruh Amerika dan Eropa Barat di Asia Pasifik, atau setidaknya di kawasan Asia Tenggara.

Sebab di kawasan Asia Tengah, Amerika dan Rusia sebenarnya sudah sejak akhir 1990-an bertarung dan berkompetisi dalam perebutan sumberdaya minyak di kawasan tersebut. Simak saja studi yang dilakukan oleh mantan penasehat Presiden Jimmy Carter Zbigniew Brzezinski atas sponsor dari Council of Foreign Relations (CFR) pada 1997.

Studi Brzezinski secara eksplisit menyebut Rusia dan Cina sebagai ancaman kepentingan Amerika di kawasan perbatasan Asia Tengah. Sehingga studi CFR merekomendasikan para perancang kebijakan dan strategi di Washington untuk mengelola dan memanipulasi beberapa negara kecil yang berada di kawasan tersebut seperti Ukraina, Azerbaijan, Kazakhstan, dan Iran, sebagai kekuatan tandingan yang pro Amerika untuk membendung pengaruh dan gerakan Rusisa dan Cina dalam menguasai sumber-sumberdaya minyak, gas dan mineral di kawasan Asia Tengah.

Dengan fakta-fakta seperti ini, situasi serupa bisa saja terjadi di kawasan Asia Tenggara. Dalam arti bahwa Amerika pun memandang manuver Cina dan Rusia di kawasan Asia Tenggara sebagai ancaman dan penghalang dalam upaya Amerika mengontrol akses sumberdaya minya, gas dan mineral di Asia Tenggara, khususnya ASEAN.

Inilah sisi strategis kerjasama Indonesia-Rusia di bidang energi. Kerjasama dan koordinasi antara Rusia dan Indonesia yang tidak saja sebatas dalam bidang gas, tapi juga dalam bidang minyak dan mineral, pada perkembangannya akan menjadi bibit-bibit kemitraan dan persahabatan antara kedua negara di semua bidang.

Politik

Dari semua kemungkinan kerjasama tersebut di atas, kerjasama di bidang politik lah sumbu dan sumber dari segalanya. Betapa tidak. Disamping hubungan kedua negara sangat dekat, kepentingan Indonesia dan Rusia di forum internasional pun boleh dikatakan sejalan. Opini kedua negara mengenai masalah internasional yang utama yaitu dalam penanggulangan terorirsme, separatisme, dan ekstrimisme, juga sejalan dan sehaluan.

Normalisasi situasi di Korea Utara, Afghanistan, Irak, Israel-Palestina, sikap kedua negara juga sama. Berarti, melalui momentum kunjungan Putin ke Jakarta, Indoneia dan Rusia tidak bisa lain harus semakin meningkatkan kerjasama bilateralnya di bidang politik secara lebih baik dan produktif. Bahkan kerjasama politik Indonesia-Rusia secara multilateral pun juga harus semakin ditingkatkan. Seperti di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) yang mana kerjama antara Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan dan Rusia sebagai anggota tetap, harus semakin solid dan kompak, karena keduanya merupakan kekuatan penting. Sehingga dalam masalah reformasi PBB, misalnya, Amerika dan negara-negara Eropa Barat tidak bisa begitu saja menganggap enteng Indonesia dan Rusia, yang tentunya juga cenderung sejalan dengan Republik Rakyat Cina.

Jelasnya, kunjungan Putin sebagaimana juga halnya dengan kunjungan SBY ke Moskow Desember tahun lalu, akan memperlihatkan potensi kerjasma strategis kedua negara. Terbukti bahwa dalam kunjungan SBY ke Moskow tahun lalu, telah berhasil ditandatangani 10 perjanjian dalam berbagai macam bidang, mulai dari kerjasama keamanan sampai ke bidang ekonomi dan pariwisata.

Karena itu, beberapa kalangan di departemen luar negeri maupun departemen pertahanan, telah mengisyaratkan kepada penulis bahwa dalam kunjungan Putin ke Jakarta September mendatang, diharapkan hasilnya akan jauh lebih besar atau minimal sama besarnya dengan kunjunan SBY ke Moskow.

Kembali ke hubungan Rusia-Indonesia sebelum 1965, banyak kalangan pengamat yang menilai hubugan kedua negara bukan sebagai mitra, namun hanya sekadar sahabat. Pada zaman Orde Baru di era Suharto, hubungan kedua negara bukan sahabat tapi sekadar mitra. Banyak kalangan yang berharap, baik dari lingkar dalam pemerintahan SBY maupun kalangan swasta, hubungan Indonesia-Rusia kini dan mendatang akan menjadi mitra sekaligus sahabat. Sehingga sesuai peribahasa orang-orang tua kita dahulu, “Jauh di mata tapi dekat di hati.”

Presiden Baru Harus Bisa Atasi Benturan Kepentingan di balik Divestasi Newmont Nusa Tenggara


Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Sisi lain yang tak kalah menarik terkait dikeluarkannya PP No 01/2014 sebagai tindak-lanjut dilaksanakannya UU No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, adalah soal urgensi untuk melakukan negosiasi ulang dengan beberapa korporasi asing yang bergerak di sektor mineral dan batubara.

Menurut Marwan Batubara dalam artikelnya yang menarik bertajuk Menggapai Kedaulatan Sektor Migas , Pada sektor minerba, langkah realistis yang dapat dilakukan adalah menuntaskan proses negosiasi ulang dalam waktu singkat. Perbaikan akan diperoleh jika pemerintah berhasil mengubah kontrak karya (KK) tambang mineral dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) konsisten dan sesuai perintah UU No 4/2009 dan PP 45/2003.
Karena itu, presiden terpilih Indonesia periode 2014-2019 harus mengambil kebijakan yang cerdas, berani, cepat, dan tepat. Pemerintah tidak boleh takut merenegosiasi kontrak karya pertambangan yang merugikan negara. Renegosiasi kontrak karya jangan sampai bertabrakan dengan kepentingan nasional. Pemerintah perlu memperhatikan suara-suara yang menginginkan pemerintah mampu menjaga kedaulatan negara.
Seraya pada saat yang sama, pemerintah baru nanti juga harus menjunjung tinggi isi kontrak. Sehingga Indonesia tidak akan lagi dipandang  sebagai bangsa yang tidak menghargai kontrak dan mengabaikan international best practice atau kelaziman yang berlaku secara internasional. Dalam renegosiasi, Kementerian Energi dan Sumberdaya Manusia tentu tak boleh mengabaikan isi kontrak dan undang-undang yang berlaku.
Undang-Undang (UU) Nomor 4/ 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) telah mengamanatkan bahwa semua kontrak karya pertambangan harus disesuaikan dengan undang-undang tersebut. Bahkan, undang-undang itu menyebutkan, penyesuaian kontrak harus dilakukan dalam tempo satu tahun sejak UU No 4/2009 diundangkan. Meskipun pada kenyataan PP O1/2014 sebagai tindak-lanjut pelaksanaan UU Minerba No 4/2009 baru dikeluarkan 5 tahun sejak diberlakukannya undang-undang pertambangan mineral dan batubara tersebut.
UU Minerba adalah manifestasi suara rakyat Indonesia. Dengan demikian, semua perusahaan pertambangan harus tunduk kepada undang-undang ini. Artinya, setiap kontrak karya bertambangan harus mengacu kepada undang-undang.
Menurut berbagai bahan pustaka yang berhasil dihimpun oleh tim riset Global Future Institute, saat ini, ada sekitar 113 kontrak pertambangan yang akan renegosiasi, yakni 37 kontrak karya di sektor pertambangan logammineral dan 76 perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B).
Hingga kini, setidaknya terdapat 11 perusahaan yang sudah menyetujui seluruh klausul renegosiasi yang diusulkan pemerintah. Selain itu, 19 perusahaan hanya menyetujui sebagian klausul. Namun, lima perusahaan menolak untuk merenegosiasi kontrak. Kelima perusahaan itu adalah PT Freepot Indonesia, PT Irja Eastern Minerals, PT Nabire Bakti Mining, PT Pasik Masao, dan PT Pasifik Masao.
Dari sekitar 16 isu yang direnegosiasi, terdapat enam isu strategis, yaitu luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara, kewajiban divestasi, kewajiban pengolahan dan pemurnian, serta kewajiban penggunaan barang dan jasa dalam negeri. 
Dari sejumlah isu itu, suara yang dominan adalah desakan kepada pemerintah untuk memperbesar penerimaan negara dari sumber daya alam. Pemerintah tak boleh gamang untuk merenegosiasi kontrak pertambangan. Selain meningkatkan penerimaan negara, renegosiasi kontrak merupakan salah satu upaya mengembalikan kedaulatan negara atas kekayaan sumber daya alam Indonesia.

Bagaimana Dengan Newmont Nusatenggara?
Salah satu isu krusial yang harus dihadapi oleh pemerintahan baru Indonesia pasca Pemilu Presiden Juli mendatang adalah menyikapi soal divestasi perusahaan tambang emas Newmont Nusa Tenggara (NNT) . Berdasarkan Kontrak Karya yang ditandatangani pada 2 Desember 1986, NNT berkewajiban untuk mendevestasikan sahamnya sebesar 51 persen secara bertahap kepada pihak Indonesia (Pemerintah dan perusahaan swasta nasional), sesuai jadwal yang telah ditentukan.
Proses divestasi akan berlangsung selama 5 tahun, dimulai dari akhir tahun keempat awal operasi tambang. Sedangkan Tambang NNT sendiri mulai berproduksi pada 2002, dan dengan demikian proses divestasi akan berlangsung setiap tahun, mulai 2006 hingga 2011.
Namun pada pelaksanaannya berjalan ruwet dan macet, akibat adanya tarik-menarik kepentingan, baik oleh pemerintah daerah-pemerintah daerah terkait, maupun NNT sendiri, sehingga proses tidak dapat berlangsung sesuai jadwal yang tercantum dalam Kontrak Karya.
Sekadar kilas balik. Ketika mulai didirikan, pemegang saham NNT adalah Newmont Indonesia Limited, Nusatenggara Mining Corporatio n(NTMC/Sumitomo, Jepang), dan Fukuako Indah, perusahaan milik Yusuf Merukh, sebagai pihak Indonesia. Masing-masing dengan kepemilikan saham 45 persen, 35 persen dan 20 persen.  
Berdasarkan peta kepemilikan Newmont Nusa Tenggara tersebut, saham yang harus divestasi oleh NNT adalah 31 persen, dan itu berasal dari saham milik Newmont dan Sumitomo.
Yang tak kalah penting, Kontrak Karya Tambang emas Batu Hijau di Sumbawa-NTB, juga mencantumkan ketentuan tentang pihak-pihak Indonesia yang berhak untuk membeli saham Newmont dan Sumitomo.
Namun pihak NNT tidak mau melaksanakan kewajiban divestasi tersebut hingga tenggat waktu yang ditentukan. Yaitu 3 Maret 2007. Oleh sebab itu, Global Future Institute menyerukan kepada pemerintahan baru periode 2014-2019, agar mengagendakan penyelesaian kasus NNT dengan berpegang teguh pada pasal 33 UUD 1945, termasuk ketentuan-ketentuan hukum di bawahnya seperti UU No 4/2009 dan PP No 01/2014. Sehingga kebijakan pemerintah baru dalam pengelolaan sumberdaya alam bertumpu pada kedaulatan nasional, kemandirian bangsa dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Nampaknya pihak korporasi asing sejatinya menolak untuk menjual sahamnya kepada Indonesia karena menyadari betapa besarnya kandungan kekayaan alam yang berada dalam penguasaan NNT. Betapa tidak. Tambang Batu Hijau yang terletak di wilayah Kabupaten Sumbawa Nusatenggara Barat, memiliki luas area 87,540 hektar area. Adapun luas lahan operasinya 6,437 hektar dan luas daeerah eksplorasi 1600 hektar.
Potensi tambang ini diketemukan pertamakali pada 1990. Daerah tambang Batu Hijau memiliki 3 jenis cadangan mineral yaitu emas dan perak. Potensi kandungan wilayah tambang adalah 11,2 miliar pound tembaga, 14,7 juta ounce emas dan 27,6 juta ounce perak.
Sedangkan potensi pendapatan dari tambang Batu Hijau berdasarkan harga rata-rata mineral yang berlaku selama 3 bulan (Juni-Agustus 2009) di London Metal Exchange dan LME/LBMA, harga rata-rata tersebut adalah: Tembaga US$ 2 per pound, perak US$ 13,11 per ounce, dan emas US$ 950 per ounce. Asumsi nilai tukar dolar 12 ribu rupiah saat ini. Namun katakanlah dengan asumsi nilai tukar ketika masih kisaran 10 ribu rupiah pada 2011-2012, dari sektor ini saja pemerintah Indonesia bisa mendapat kurang lebih sebesar 375 triliun rupiah.
Tapi, mengapa proses pembelian saham ini masih berlarut-larut hingga kini? Nampaknya, akar soalnya adalah lemahnya kepribadian Presiden SBY dalam memberi arah kebijakan strategis dalam soal divestasi ini. Sikap presiden yang tidak tegas ketika terjadi perbenturan kepentingan tentang siapa yang lebih berhak melakukan divestasi, apakah pemerintah pusat, BUMN, pemerintah daerah, ataukah pihak swasta nasional, telah menyebabkan manajemen pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam sektor pertambangan mineral dan batubara ini jadi kacau balau.
Lebih krusial lagi ketika Menteri Keuangan Chatib Basri dan Menteri Koordinator Perekonomian Nasional Hatta Rajasa pun berbeda pendapat yang tentunya membawa implikasi tetap terciptanya ketidakpastian terhadap kelangsungan usaha NNT. Hatta Rajassa berkeberatan jika  divestasi 7 persen saham PT Newmont Nusa Tenggara langsung diambil alih oleh Badan Usaha Milik Negara. Hatta lebih suka jika divestasi itu harus diserahkan ke pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat.
Sebaliknya Chatib Basri selaku Menteri Keuangan menegaskan rencana pemerintah pusat membeli 7 persen saham PT Newmont Nusa Tenggara. Hal itulah yang melatarbelakangi perpanjangan Sales and Purchase Agreement (SPA) antara Newmont dan pemerintah selama enam bulan.
Di sinilah pentingnya kekuatan kepribadian Presiden baru Indonesia 2014-2019 mampu memberi arah kebijakan strategis terkait tata kelola sektor pertambangan mineral dan batubara yang merujuk pada UU No 4/2014 tersebut. Jika tidak, maka isu divestasi NNT akan dikendalikan dan diatur oleh kepentingan-kepentingan bisnis beberapa pengusaha yang kebetulan bermain di sektor mineral dan batubara seperti Aburizal Bakrie yang saat ini menjabat Ketua Umum Partai Golkar dan tergabung dalam koalisi merah putih bersama calon presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Alotnya mencapai kesepakatan untuk melakukan divestasi terhadap Newmont nampaknya terhambat oleh keinginan kuat dari Bakrie untuk memiliki saham NNT yang akan didivestasi tersebut. Sehingga faksi Bakrie di dalam tubuh pemerintahan SBY maupun di DPR berkeberatan jika divestasi NNT dikuasai pemerintah pusat.
Seperti kita ketahui, PT Multi Capital, merupakan anak perusahaan PT Bumi Resources Mineral Tbk milik group Bakrie yang menginginkan sisa saham divestasi tersebut. Dengan menggandeng PT Daerah Maju Bersaing, sebuah konsorsium milik tiga pemerintah daerah di Nusa Tenggara Barat.
Global Future Institute berharap, semoga kekuatan kepribadian presiden terpilih 2014-2019 bisa mengelola benturan kepentingan antar pemerintah pusat, pemerintah daerah dan BUMN melalui skema ekonomi nasional yang strategis demi kesejahteraan rakyat, kemandirian bangsa dan kedaulatan nasional.

Senin, 16 Juni 2014

Bila Tidak Ada Visi, G-20 Merupakan Penjara Bagi Indonesia (2)

Artikel ini merupakan tulisan kedua dari artikel "Bila Tidak Ada Visi, G-20 Merupakan Penjara Bagi Indonesia (1)"

Pendahuluan

Sebagai tuan rumah, Indonesia dipuji oleh WTO dan korporasi transnasional karena telah berhasil memfasilitasi berlanjutnya program mereka yang tertunda pada Putaran Doha. Mulusnya Paket Bali, mempercepat berjalannya proyek-proyek infrastruktur fasilitas perdagangan di negara-negara berkembang maupun tertinggal. Dengan demikian mesin kapital IMF dan World Bank mulai mengucurkan  dana dengan nama pinjaman, bantuan kerjasama maupun hibah yang semakin menyuburkan ideologi neolib dan gaya hidup hollywood di negara-negara berkembang dan tertinggal.

Setelah macet selama 12 tahun, akhirnya Konferensi Tingkat Menteri IX WTO di Bali berhasil menyepakati “Paket Bali” – yang isinya tidak lain adalah agenda “Putaran Doha” yang telah terkatung-katung selama ini.
Tiga Paket Bali yang disepakati meliputi:
1.    Fasilitas perdagangan,
2.    Pembangunan untuk negara-negara tertinggal (least developed countries/LDCs),
3.    Pertanian.

Seperti yang sudah-sudah, masalah pertanian tetap alot, karena AS dan negara-negara maju tetap ngotot menentang subsidi pertanian. Namun akhirnya usul India disepakati setelah memberi kelonggaran kepada India untuk menegosiasikan besaran subsidi dan stok pangannya dalam empat tahun ke depan.  Demikian pula tuntutan paket pertanian negara lain seperti Kuba, Venezuela, Bolivia dan Nikaragua akhirnya juga disetujui oleh negara-negara maju. Justru hasil negosiasi inilah yang telah ditunggu-tunggu oleh korporasi transnasional, karena mereka sudah lama bersiap-siap untuk memperluas pasarnya.
Lalu benarkah negara-negara berkembang diuntungkan oleh kesepakatan Paket Bali itu? Tentu tidak! Paket Bali tidak mengubah apa-apa. Bahkan Paket Bali akan menjadi Tsunami bagi negara-negara berkembang dan tertinggal. Betapa tidak bila kesepakatan paket subsidi pertanian dengan tenggat 4 tahun ditukar dengan fasilitas perdagangan bebas. Maka bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada tahun 2020 nanti, ketika gelombang raksasa liberalisasi perdagangan melanda pasar negara-negara berkembang.
Putaran Bali sekali lagi menunjukkan sikap dominasi negara-negara maju yang selalu memaksakan kehendak. Hal tersebut tampak jelas dalam kesepakatan paket fasilitas perdagangan – dimana negara-negara maju melalui WTO – bisa memaksa negara-negara berkembang untuk membangun infrastruktur, seperti pembangunan pelabuhan, bandara, perizinan, kepabeanan, dan lain sebagainya yang berbiaya besar. Proyek infrastruktur itu dibangun oleh negara-negara berkembang dan tertinggal sudah pasti dengan “bantuan” World Bank, mulai dari konsultasi, standarisasi sampai anggaran. Lalu siapa yang menikmati hasil pembangunan itu. Ya lagi-lagi negara maju, karena mempermudah dan memperlancar arus lalu-lintas barang dan jasa mereka di negara-negara berkembang.
Sebaliknya, dengan menciptakan berbagai standar teknis internasional yang ditetapkan melalui WTO, negara-negara maju mampu membendung masuknya aneka produk olahan negara-negara berkembang. Belum lagi hambatan new non-tariff barrier, negara-negara maju memberlakukan tarif ekskalasi untuk sejumlah jenis produk olahan. Dengan kata lain, negara-negara maju berusaha menutup pintu rapat-rapat terhadap masuknya produk olahan negera-negara berkembang. Indonesia sendiri sudah sering mengalami hambatan dalam ekspor produk pertanian, perikanan dan produk olahan lain ke AS dan Eropa. Tapi ga kapok-kapok. Dari gambaran ini jelas menunjukkan peran WTO sebagai “sistem kontrol” untuk mempertahankan dominasi ekonomi negara-negara maju secara elegan dengan perjanjian dan standarisasi yang aneh-aneh.
Doktrin purba ekonomi kapitalisme liberalisme adalah memang bagaimana menumpuk kekayaan dengan jalan menguasai tanah dan isi tanah. Bahasa kerennya, kuasai suatu negara, kuras sumberdayanya. Jadi apapun istilahnya, tetap penindasan namanya! Doktrin ini terus berkembang membelah peradaban umat manusia menjadi dua kelas dengan sebutan negara maju (Utara) dan negara tertinggal/berkembang (Selatan). Kalau dengan bahasa Indonesia: Utara adalah majikan sedangkan Selatan adalah pembantu. Seperti kata Iblis, “aku lebih mulia dari manusia karena aku diciptakan dari api, sedang munusia itu kotor karena diciptakan dari tanah!” Dimanapun, kapanpun kita berbeda. Aku dan kau tidak mungkin bersatu. Ideologi Iblis ini terus tumbuh dan berkembang menembus ruang dan waktu membelah umat manusia sampai hari kiamat. Oleh karena itu, penindasan tidak akan hilang dari muka bumi.
Membaca Ekonomi Indonesia Mutakhir
Indonesia dengan populasi penduduk sebanyak 250 juta jiwa secara ekonomis jelas merupakan pangsa pasar yang besar. Bila dibanding dengan kelompok negara kekuatan ekonomi baru BRIC (Brazil, Rusia, India dan China), Indonesia memang masih tertinggal dalam soal tenaga berpendidikan tinggi, yang merupakan modal penting guna menggerakkan perekonomian, terutama dalam pengembangan ekonomi kreatif yang sekarang sedang digembar-gemborkan oleh pemerintah.
Industri kreatif menjadi unggulan karena mampu menggerakkan ekonomi rakyat dengan mengembangkan bakat individu, serta mengeksploitasi daya cipta individu berdasarkan pengetahuan dan informasi. Industri kreatif dipandang semakin penting dalam meningkatkan kesejahteraan. Industri abad ke 21 akan sangat tergantung pada produksi pengetahuan melalui kreativitas dan inovasi seperti bidang: arsitektur, desain, fesyen, kerajinan, musik, teknologi informasi, penerbitan dan percetakan, periklanan, riset dan pengembangan, kuliner, TV + radio, seni pertunjukkan, permainan interaktif, film/video/fotografi, dan pasar barang seni.
Disamping itu, dalam konteks pemanfaatan teknologi informasi, internet dan ponsel kerap dijadikan ukuran kemajuan suatu negara. Untuk pengguna internet Indonesia tergolong rendah, yakni 8,7 orang per 100 populasi atau 8,7% dari populasi. Namun masih lebih tinggi dari India, yakni 5,1%. Sedangkan, di China sebanyak 28,5%, Brazil 38,7% dan Rusia 42,4%. Dan untuk pelanggan ponsel, Indonesia tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara BRIC, yakni 69,2%. Indonesia hanya dikalahkan oleh Rusia yang mencapai 163,6% yang berarti satu orang memiliki lebih dari satu ponsel. Sedangkan, Brazil sebesar 89%, China 55% dan India hanya 43,8%.
Masih dalam konteks industri kreatif, nenek moyang kita dahulu telah mewariskan seni budaya tinggi, mulai dari puisi, lagu, tarian sampai seni ukir, seni pahat, pembuatan patung, candi, senjata, benteng bahkan kapal perang. Situs-situs tersebut tersebar dari sabang sampai merauke menjadi warisan sejarah yang tidak ternilai harganya. Ditambah keindahan panorama alam yang masih asri menjadikan Indonesia sebagai salah satu tujuan wisata alam, sejarah dan budaya terbaik dunia. Namun pada kenyataannya dalam urusan pariwisata, Indonesia ditingkat regional masih kalah jauh dari Malaysia, Singapura dan Thailand.
Kalau dibandingkan dengan Indonesia, Malaysia dan Singapura tidak ada apa-apanya dalam soal obyek wisata. Tapi kedua negara tersebut mampu mengelola potensi pariwisatanya dengan baik. Dari sektor pariwisata Indonesia baru mampu menyumbang 14,33 % PDB, padahal dengan potensi yang dimiliki seharusnya mampu menyumbang sampai 20% PDB, bahkan mencapai 25% PDB bersama transportasi dan komunikasi bila didukung infrastruktur yang memadai.
Demikian pula sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan baru mampu menyumbangkan 14,43% PDB. Indonesia sebagai negara kepulauan tropis yang selalu disinari matahari sepanjang tahun, dengan tanah yang subur seharusnya sektor ini mampu menyumbangkan paling sedikit 20% PDB. Eh pada kenyataannya malah terbalik, Indonesia malah impor 29 komoditas pangan. Lebih aneh lagi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia sampai impor garam dari Australia, India, Selandia Baru, Jerman, Denmark. Memang aneh tapi nyata, ini daftar produk impor, nilai, volume dan negara asal tahun 2013 lalu:
  1. Beras. Nilai impor sampai Agustus: US$ 156,332 juta. Volume impor sampai Agustus: 302,71 juta kg. Negara asal: Vietnam, Thailand, Pakistan, India, Myanmar, dan lainnya.
  2. Jagung. Nilai impor sampai Agustus : US$ 544,189 juta. Volume impor sampai Agustus: 1,80 miliar kg. Negara asal : India, Argentina, Brazil, Thailand, Paraguay dan lainnya.
  3. Kedelai. Nilai impor sampai Agustus : US$ 735,437 juta. Volume impor sampai Agustus: 1,19 miliar kg. Negara asal : Amerika Serikat, Argentina, Malaysia, Paraguay, Kanada dan lainnya.
  4. Biji Gandum. Nilai impor sampai Agustus : US$ 1,66 miliar. Volume impor sampai Agustus: 4,43 miliar kg. Negara asal : Australia, Kanada, India, Amerika Serikat, Singapura dan lainnya.
  5. Tepung Terigu. Nilai impor sampai Agustus : US$ 45,29 juta. Volume impor sampai Agustus: 104,21 juta kg. Negara asal : Srilanka, India, Turki, Ukraina, Jepang dan lainnya.
  6. Gula Pasir. Nilai impor sampai Agustus : US$ 31,11 juta. Volume impor sampai. Agustus: 52,45 juta kg. Negara asal : Thailand, Malaysia, Australia, Korea Selatan, Selandia Baru dan lainnya.
  7. Gula Tebu. Nilai impor sampai Agustus : US$ 1,16 miliar. Volume impor sampai Agustus: 2,21 miliar kg. Negara asal : Thailand, Brazil, Australia, El Savador, Afrika Selatan dan lainnya.
  8. Daging Sejenis Lembu. Nilai impor sampai Agustus : US$ 121,14 juta. Volume impor sampai Agustus: 25,21 juta kg. Negara asal : Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Singapura.
  9. Jenis Lembu. Nilai impor sampai Agustus : US$ 192,56 juta. Volume impor sampai Agustus: 72,54 juta kg. Negara asal : Australia.
  10. Daging Ayam. Nilai impor sampai Agustus : US$ 30,26 ribu. Volume impor sampai Agustus: 10,83 ribu kg. Negara asal : Malaysia.
  11. Garam. Nilai impor sampai Agustus : US$ 59,51 juta. Volume impor sampai Agustus: 1,29 miliar kg. Negara asal : Australia, India, Selandia Baru, Jerman, Denmark, lainnya.
  12. Mentega. Nilai impor sampai Agustus : US$ 60,09 juta. Volume impor sampai Agustus: 13,51 juta kg. Negara asal : Selandia Baru, Belgia, Australia, Perancis, Belanda dan lainnya.
  13. Minyak Goreng. Nilai impor sampai Agustus : US$ 45,55 juta. Volume impor sampai Agustus: 48,01 juta kg. Negara asal : Malaysia, India, Vietnam, Thailand, dan lainnya.
  14. Susu. Nilai impor sampai Agustus : US$ 530,47 juta. Volume impor sampai Agustus: 139,68 juta kg. Negara asal : Selandia Baru, Amerika Serikat, Australia, Belgia, Jerman dan lainnya.
  15. Bawang Merah. Nilai impor sampai Agustus : US$ 32,00 juta. Volume impor sampai Agustus: 70,95 juta kg. Negara asal : India, Thailand, Vietnam, Filipina, Cina dan lainnya.
  16. Bawang Putih. Nilai impor sampai Agustus : US$ 272,47 juta. Volume impor sampai Agustus: 332,88 juta kg. Negara asal : Cina, India, Vietnam.
  17. Kelapa. Nilai impor sampai Agustus : US$ 698,49 ribu. Volume impor sampai Agustus: 672,70 ribu kg. Negara asal : Thailand, Filipina, Singapura, Vietnam.
  18. Kelapa Sawit. Nilai impor sampai Agustus : US$ 1,87 juta. Volume impor sampai Agustus: 3,25 juta kg. Negara asal : Malaysia, Papua Nugini, Virgin Island.
  19. Lada. Nilai impor sampai Agustus : US$ 2,38 juta. Volume impor sampai Agustus: 224,76 ribu kg. Negara asal : Vietnam, Malaysia, Belanda, Amerika Serikat dan lainnya.
  20. Teh. Nilai impor sampai Agustus : US$ 20,66 juta. Volume impor sampai Agustus: 14,58 juta kg. Negara asal : Vietnam, Kenya, India, Iran, Srilanka dan lainnya.
  21. Kopi. Nilai impor sampai Agustus : US$ 33,71 juta. Volume impor sampai Agustus: 14,03 juta kg. Negara asal : Vietnam, Brazil, Italia, Amerika Serikat dan lainnya.
  22. Cengkeh. Nilai impor sampai Agustus : US$ 2,79 juta. Volume impor sampai Agustus: 262,30 ribu kg. Negara asal : Madagaskar, Mauritius, Singapura, Brazil, Comoros.
  23. Kakao. Nilai impor sampai Agustus : US$ 48,52 juta. Volume impor sampai Agustus: 19,51 juta kg. Negara asal : Ghana, Pantai Gading, Papua Nugini, Kamerun, Ekuador dan lainnya.
  24. Cabai (segar). Nilai impor sampai Agustus : US$ 360,08 ribu. Volume impor sampai Agustus: 281,93 ribu kg. Negara asal : Vietnam, India.
  25. Cabai (kering-tumbuk). Nilai impor sampai Agustus : US$ 15,00 juta. Volume impor sampai Agustus: 12,26 juta kg. Negara asal : India, Cina, Jerman, Malaysia, Spanyol dan lainnya.
  26. Cabai (awet sementara). Nilai impor sampai Agustus : US$ 1,56 juta. Volume impor sampai Agustus: 1,64 juta kg. Negara asal : Thailand, Cina, Malaysia.
  27. Tembakau. Nilai impor sampai Agustus : US$ 371,09 juta. Volume impor sampai Agustus: 72,98 juta kg. Negara asal : Cina, Turki, Brazil, Amerika Serikat, Filipina dan lainnya.
  28. Ubi Kayu. Nilai impor sampai Agustus : US$ 38,38 ribu. Volume impor sampai Agustus: 100,80 ribu kg. Negara asal : Thailand.
  29. Kentang. Nilai impor sampai Agustus : US$ 18,18 juta. Volume impor sampai Agustus: 27,39 juta kg. Negara asal : Australia, Kanada, Mesir, Cina, Inggris.
Coba, berapa devisa kita yang terbuang. Presiden terpilih nanti harus sadar bahwa Indonesia sekarang dalam kondisi darurat karena sudah mengimpor 29 komoditas pangan. Perlu sebuah solusi cepat dan tepat dalam jangka pendek yang mampu membalikkan keaadaan dari impor menjadi ekspor. Sehingga Indonesia memiliki ketahanan pangan yang kuat – yang tidak tergantung dari negara lain – karena Indonesia memiliki sumber daya alam yang lebih untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Indonesia juga kaya akan sumber daya alam mineral dan energi. Indonesia adalah pemasok sumber daya alam terbesar dunia, sektor ini masih menjadi penyumbang terbesar PDB, yakni 35%. Dengan kebijakan baru pemerintah Indonesia yang melarang semua ekspor biji mineral mentah sebagai upaya meningkatkan dan mengembangkan pengolahan domestik diharapkan mampu meningkatkan pendapatan negara jauh lebih besar lagi.
Kebijakan pemerintah ini, ternyata berdampak luar biasa terhadap industri dunia. Sebagai contoh, penghentian ekspor biji nikel mentah ternyata memicu guncangan besar dalam industri nikel global, terutama bagi pabrik-pabrik baja stainless yang membuat semua barang mulai dari peralatan dapur hingga mobil dan bangunan.
Bayangkan kita masih kaya akan sumber daya mineral lain, seperti biji besi, emas, perak, mangan, bauksit, timah, tembaga, timbal, alumunium, seng, dan masih banyak lagi. Sayangnya, kebijakan pemerintah tersebut tidak tegas. SBY masih melonggarkan kebijakan bagi Freeport-McMoRan dan Newmont Mining Corp dengan membolehkan ekspor tembaga, biji besi, timbal dan seng yang terkonsentrasi sampai 2017, padahal keduanya memproduksi 97 persen tembaga Indonesia.
Bila kita simak laporan Badan Pusat Statisitik Indonesia (BPS), maupun prediksi lembaga-lembaga keuangan internasional mutakhir menunjukkan bahwa PDB Indonesia akan menembus Rp 10.000 trilyun pada akhir tahun ini. Artinya Indonesia telah menjadi negara kaya dalam deretan 20 negara terkaya di dunia. Bukan itu saja, komposisi utang luar negeri Indonesia terakhir – baik pemerintah maupun swasta yang berkisar Rp 2.000 trilyun atau 20% dari PDB masih aman dan wajar bila dibandingkan dengan negara lain – seperti Thailand (40%), Malaysia (50%), India (60%), Brazil (70%), Singapura (100%), Amerika Serikat (AS) memiliki utang Rp 170.000 trilyun (100%) dan Jepang Rp 115.000 trilyun (200%) dari PDB. Sebagai catatan saja bahwa AS adalah negara yang memiliki hutang terbesar di dunia. Termasuk utang ke PBB sebesar Rp 10,7 trilyun.
Melihat tren pertumbuhan yang rata-rata 6% pertahun dan rasio utang yang aman tidak mengherankan bila Indonesia digadang-gadang akan menjadi “Macan Asia” pada 2020 dan menjadi “Macan Dunia” pada 2030, dengan mengalahkan Jepang yang sekarang merupakan kekuatan ekonomi terbesar ketiga dunia setelah AS dan China.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah rakyat Indonesia tahu bahwa kita sudah menjadi negara kaya. Dengan kata lain, rakyat Indonesia sudah menjadi orang kaya dengan GDP per Capita US$ 4.000,- per tahun. Saya yakin pasti sebagian besar rakyat Indonesia tidak tahu, bahkan termasuk wakil-wakil rakyat kita juga mungkin tidak tahu.
Mengapa? Karena pendapatan negara memang hanya dinikmati oleh segelintir orang – sekitar 43.000 orang kaya atau 0,02% populasi penduduk miskin yang setara dengan 25% PDB. Ditambah 40 orang Indonesia terkaya di dunia yang setara dengan 10% PDB. Jumlah mereka ini mewakili 35% PDB Indonesia atau setara dengan 87,5 juta kekayaan rakyat miskin Indonesia. Sungguh terrlaaluu!
Inilah paradok Indonesia, negara kaya tapi rakyatnya miskin. Lalu apa solusinya buat Presiden terpilih nanti dan para wakil rakyat terhormat untuk merealisasikan PDB tersebut dengan adil dan beradab?
Memang ini bukan perkara mudah, karena bila kita terus mempertahankan pertumbuhan ekonomi model kapitalime liberalisme (neolib) yang sedang berjalan ini, maka kita akan terus meningkatkan angka kemiskinan, pemukiman kumuh dan gelandangan paralel dengan keberhasilan pembangunan itu. Hal ini terjadi karena proses ekonomi neolib memang bertujuan menghancurkan kegiatan ekonomi lokal dan mengganti dengan kegiatan ekonomi baru. Sebagai ilustrasi dengan masuknya modal dibarengi dengan pengalihan kepemilikan lahan, maka terputuslah akses tanah dan sumber daya alam masyarakat  sehingga terciptalah “masyarakat mengambang” disuatu wilayah tertentu. Karena tidak mermiliki akses ekonomi dan pengalaman kemudian terpinggirkan dan termiskinkan sebagai akibat proses ekonomi baru itu. Jadi tidak mengherankan bila terjadi peningkatan kaum urban dan meluasnya pemukiman kumuh ditengah gemerlapnya kehidupan perkotaan.
Lalu apa pilihan model pembangunan ekonomi yang ingin kita terapkan sebagai kesinambungan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) untuk menjadikan Indonesia sebagai Macan Asia. Model Rusia atau model China, atau tetap berjalan sesuai dengan kebijakan yang sudah ada mengikuti kemauan negara maju. Atau model Pancasila, yang perlu kita bahas lebih jauh lagi implementasinya dalam diskusi tersendiri. Yang jelas sekarang tinggal kemauan Presiden terpilih nanti untuk bersikap adil dan mau membagi kue hasil pendapatan pembangunan nasional secara proporsional. Paling tidak GDP per Capita US$ 4.000,- bukan sekedar angka statistik yang dipuji-puji oleh IMF dan World Bank. Tapi benar-benar dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia.
Terlepas dari persoalan ideologi itu, ada beberapa kebijakan yang perlu diambil Presiden terpilih nanti guna melakukan terobosan penting bagi kesejahteraan rakyat. Pertama, renegosiasi serta membuat undang-undang kontrak karya migas dan minerba yang lebih menguntungkan negara agar sejalan dengan semangat pasal 33 UUD ’45, jangan sampai negara hanya dapat royalti 1% sedangkan ada pihak lain yang mendapat sampai 6% dari Freeport McMoran. Kalau UU ini berjalan, dalam jangka pendek tentu akan dapat meningkatkan PDB kita secara signifikan dari hasil tambang dan produk olahannya.
Kedua, sebagai negara agraris dalam jangka pendek kita perlu undang-undang “darurat” untuk bela negara, ketahanan pangan dan lapangan kerja bagi rakyat indonesia yang komprehensif dan integratif dengan undang-undang agraria – yang memberikan hak kepemilikan kepada rakyat miskin yang tidak memiliki tanah dan aset. Dengan demikian pemerintah membuat solusi mengatasi pengangguran dan menyediakan lapangan kerja bagi rakyat miskin. Salah satu bentuknya adalah dengan menciptakan “cluster pangan” dilahan yang tidak produktif diluar jawa dan “cluster perikanan” di pulau-pulau yang tidak berpenghuni yang diperkirakan akan mampu menyerap paling sedikit 60 juta lapangan kerja sampai tahun 2020. Bila berhasil, bukan saja kita berhenti impor 29 produk pertanian, malah kita bisa ekspor. Efek program ini juga akan meningkatkan PDB kita lebih besar dari kontrak karya pertambangan. Bahkan merupakan langkah penting guna menjadi Macan Asia.
Ketiga, efisiensi anggaran belanja negara. Belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, kalau RAPBN yang diajukan oleh pemerintah periode 2014-2019 terpilih nanti sebesar Rp 2.000,- trilyun, maka sudah pasti bocor setengahnya. Dimana saja bocornya? Tahap Pertama pada saat penyusunan anggaran di DPR biasanya bocor 5 - 10%. Tahap kedua saat pengesahan anggaran di setiap fraksi dan komisi bocor lagi 5 - 10%. Dan terakhir adalah saat pelaksanaan proyek oleh pengguna anggaran bocor lagi 30 - 40%. Disinilah perlu transparansi anggaran yang mudah diakses oleh umum, sehingga meningkatkan kualitas pengawasan anggaran negara oleh masyarakat.
Memang perlu keberanian dari pemerintah untuk membuat APBN yang efisien, transparan dan terukur pelaksanaannya sesuai dengan kebutuhan rakyat banyak. Lebih ekstrim lagi, kalau pemerintah baru nanti hanya butuh APBN 2014-2019 sebesar Rp 1.000,- trilyun. Ya cukup, jangan ditambah-tambah lagi dengan program yang tidak jelas manfaatnya. Salah satu bentuk efisiensi anggaran adalah dengan program “birokrat minimalis”. Sebuah program standarisasi birokrasi nasional mulai dari tingkat desa atau kelurahan sampai tingkat provinsi dan kementerian. Tujuannya adalah jangan sampai anggaran belanja negara habis untuk urusan birokratis, seperti mengadakan rehab atau pembangunan gedung baru, pengadaan barang yang tidak sesuai kebutuhan, rapat-rapat di hotel, perjalanan dinas yang sifatnya rutin, dan lain sebagainya. Kalau program “birokrat minimalis” ini berjalan, akan menghemat APBN dan APBD besar-besaran sampai 25%.
Nah, kembali kepada anggaran yang Rp 1.000,- trilyun. Presiden terpilih bisa membuat buat program khusus. Misalkan buat modal pendirian bank koperasi setingkat bank sentral yang diluar kendali IMF dan World Bank. Sebuah bank asli milik rakyat Indonesia – model Grameen Bank di Banglades. Sedang akumulasi modal bisa dengan gaya Presiden Suharto dulu, yakni 5% keuntungan BUMN harus di setor menjadi modal bank koperasi.
Bayangkan Indonesia punya bank sendiri dengan modal Rp 1.000,- trilyun, coba berapa banyak cluster pangan dan cluster perikanan dengan dukungan teknologi tepat guna bisa kita ciptakan. Berapa banyak cluster smelter pengolahan mineral mentah bisa kita bangun. Untuk teknologi kita bisa kerjasama dengan Rusia dan China, tidak melulu harus dengan AS dan Eropa Barat. Bahkan kita bisa buat banyak pelabuhan moderen pendukung ekspor di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Bila program ini berjalan dengan baik, maka pada tahun 2020, lebih kurang 150 juta rakyat miskin yang menjadi anggota koperasi aktif, bisa menabung rata-rata Rp 1.000.000,- per bulan sebagai hasil dari kerja keras dan peningkatan GDP per Capita US$ 10.000,-
Keempat, meninjau kembali seluruh perjanjian-perjanjian internasional yang merugikan kepentingan bangsa dan negara agar lebih adil dan bermartabat yang menyangkut bidang perdagangan, pertanian dan penguasaan teknologi. Misalkan menyangkut teknologi refinery minyak bumi dan minyak sawit. Masa kita tidak bisa mengolah hasil minyak mentah sendiri, malah impor minyak mentah dan BBM dari Malaysia dan Singapura sampai 900 ribu barel perhari dengan harga US$ 120 per barel. Kan ga lucu, negara produsen minyak tapi impor minyak mentah. Bayangkan kalau kita diembargo oleh kedua negara tetangga itu satu minggu saja, apa ga kolaps Indonesia! Trus kalo kita punya refinery minyak sawit, disamping kita bisa produksi makanan sampai kosmetik, kita juga bisa negosiasi harga CPO dengan Malaysia, misalkan dari US$ 500,- per ton menjadi US$ 1.000,- per ton. Kan lumayan buat nambah devisa negara kalo volumenya 20 juta ton pertahun.
Membangun Visi Global
Indonesia kini telah menjadi salah satu negara G20 yang memiliki potensi ekonomi yang luar biasa. Belakangan Indonesia dikelompokkan ke dalam MINT (Meksiko, Indonesia, Nigeria dan Turki) yang bakal menggeser posisi BRICS. Padahal secara PDB, maupun GDP per Capita, MINT masih sangat jauh dari BRICS. Lalu apa relevansinya buat Indonesia kalau sekedar dijadikan bahan hitung-hitungan statistik para ahli ekonomi yang kenyataannya mungkin 50 tahun lagi.
Kebutuhan Indonesia sekarang ini adalah seorang Presiden yang tegas dan berani mensejahterakan rakyatnya dalam waktu 5 tahun. Sekaligus mewujudkan Indonesia sebagai “Macan Asia”. Berdasarkan PDB Indonesia yang sudah mencapai Rp 10.000 trilyun, sebetulnya Presiden terpilih bersama DPR tinggal bagaimana membuat kebijakan agar arah pembangunan di segala sektor benar-benar dapat dinikmati dan dirasakan oleh rakyat Indonesia secara merata. Kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi dalam negeri ini, lalu dirumuskan menjadi kepentingan nasional Indonesia yang merupakan dasar kebijakan luar negeri Indonesia. Rumusan kepentingan nasional inilah yang kemudian menjadi visi global Indonesia dalam rangka menjalin kerjasama antar bangsa.
Salah satu strategi pembangunan yang harus dikembangkan oleh Indonesia agar tidak terjebak oleh permainan IMF dan World Bank adalah dengan mengembangkan sistem ekonomi alternatif yang tidak melulu tergantung kepada uang dan utang. Salah satu wujud visi global itu misalkan mewujudkan Joint Development Bank, bank alternatif yang digagas oleh BRIC, dimana transaksinya dikombinasikan dengan sistem barter. Bisa dengan barang atau dengan proyek. Mengapa? Karena uang dan utang merupakan urat nadi sistem kapitalime liberalisme, menurunnya transaksi uang dan utang IMF dan World Bank akan kehabisan darah, dan pelan-pelan mati.
Oleh karena itu, Indonesia harus memiliki visi yang kuat dalam menggalang kekuatan ekonomi alternatif dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat dunia. Memperjuangkan hak yang sama kepada setiap negara untuk menikmati hasil perdagangan dunia yang lebih adil. Disinilah Indonesia harus berani membuat langkah terobosan ditengah krisis ekonomi global sambil menjaga ketertiban dan keamanan dunia.
Tentu saja AS dan sekutunya tidak akan tinggal diam melihat mesin kapital rentenir mereka digembosi. Cara paling mudah mempertahankan keberadaan IMF dan World Bank adalah dengan menciptakan krisis, mulai dari embargo ekonomi, konflik politik dan perbatasan, perang skala terbatas, bahkan kalau perlu sulut Perang Dunia III. Dengan harapan akan menguras devisa seluruh negara yang terlibat. Kalau ini terjadi, ujung-ujungnya IMF dan World Bank lagi yang menjadi pahlawan. Lagi-lagi kata Iblis, “manusia itu memang suka berperang!”
Untuk itu, sebagai langkah awal yang perlu dilakukan adalah mendekati Rusia dan China guna membangun Poros RICH (Rusia, Indonesia, China). Dengan kedua negara tersebut, Indonesia sudah memiliki hubungan historis yang cukup kuat. Bahkan nilai transaksi perdagangan dan investasi dengan kedua negara itu terus meningkat di Indonesia, bahkan bisa menembus US$ 100 milyar usai pemilihan Presiden nanti. Tinggal bagaimana meningkatkan hubungan itu menjadi lebih intens, dengan membangun kemitraan yang lebih kokoh dalam berbagai bidang, mulai dari sektor pertanian, infrastruktur sampai industri strategis yang saling menguntungkan.
Kalau Indonesia mampu membangun Poros RICH dalam jangka pendek, maka akan lebih mudah membangun komunikasi dengan BRICS. Disinilah kekuatan diplomasi diperlukan untuk meyakinkan BRICS yang bila bergabung memiliki total PDB mencapai Rp 150.000,- trilyun atau 20% PDB dunia.
Bila Indonesia berhasil meyakinkan model kerjasama ekonomi alternatif yang lebih adil kepada BRICS, pasti akan dikuti oleh negara-negara selatan yang lain. Pada gilirannya, dalam jangka panjang pasti akan mengimbangi kekuatan ekonomi negara-negara utara yang memang sudah lebih dahulu maju. ****

PP No 01/2014 Pintu Masuk SBY Beri Monopoli dan Hak Istimewa Kepada Freeport dan Newmont

Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Sebenarnya semangat dari dikeluarkannya Undang-Undang No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara sudah sesuai dengan jiwa dari pasal 33 ayat 2 UUD 1945 yang menegaskan bahwa  cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Dan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menegaskan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sayangnya, dengan ditandatanganinya Peraturan Pemerintah nomor 01 tahun 2014 yang merupakan tindaklanjut dan peraturan pelaksanaan Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara oleh Presiden SBY pada Januari lalu, pada kenyataannya pemerintah telah gagal mengawal semangat dan jiwa pasal 33 UUD 1945 tersebut sebagaimana dirumuskan dalam Undang-Undang No. 4 tahun 2009.

April 2014, tepatnya beberapa bulan setelah keluarnya Peraturan Pemerintah nomor 01 tahun 2014 yang seharusnya merupakan petunjuk pelaksanaan jiwa dari Undang-Undang Minerba no 4 tahun 2009, secara tiba-tiba Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) mengeluarkan rekomendasi izin ekspor kepada dua perusahaan tambang asing PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara. Bahkan pada perkembangannya kemudian,ada tiga perusahaan tambang lainnya yang akan diberikan rekomendasi oleh Kementerian ESDM yaitu PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO), PT Lumbung Mineral Sentosa, serta PT Damar Narmada Bakti.

Perkembagan ini barang tentu amat memprihatinkan para pemangku kepentingan pertambangan yang bergerak di sektor tambang dan batubara baik dari dalam maupun luar negeri. Karena dengan rekomendasi terhadap dua perusahaan asing PT Freeport dan PT Newmont Nusa Tenggara bisa kit abaca sebagai kebijakan pemerintah untuk memberikan monopoli dan hak-hak istimewa terhadap kedua perusahaan asing tersebut. Apalagi keduanya, telah mempertunjukkan reputasi buruknya dalam mengeruka sumberdaya alam kita di kedua sektor tersebut.

Padahal Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa maupun Menteri ESDM dalam keterangan persnya 11 Januari 2014 telah menegaskan bahwadalam rangka untuk meningkatkan nilai kedua sektor tersebut, maka  terhitung sejak 12 Januari 2014, mulai diberlakukannya Undang-Undang no 4/2009, tidak lagi dibenarkan untuk mengekspor mineral mentah.  

Melalui arah kebijakan yang terkandung dalam PP No 01/2014 tersebut, sebenarnya sejiwa dengan Pasal 33 UUD 1945 ayat 2 dan 3 maupun UU No 4/2009, karena menegaskan kewajiban bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor mineral dan batubara untuk membangun smelter (pabrik pengolahan), sebagai prasyarat agar perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor tersebut mendapat izin ekspor.

Sebenarnya jika UU no. 4/2009 maupun PP No.01/2014 dijalankan secara konsisten, perusahaan-perusahaan tambang asing berskala global seperti Freeport dan Newmont yang paling terkena dampak secara langsung mengingat selama ini Freeport tidak pernah transparan dan terbuka dalam menginformasikan berapa sesungguhnya kekayaan yang berhasil mereka raup dari penambangannya di Papua.

Namun, kebijakan pemerintahan SBY untuk memberikan monopoli dah hak-hak istimewa yang disamarkan melalui Peraturan Pemerintah No 01/2014 yang dikeluarkan Kementerian ESDM, pada perkembangannya telah menghancurkan jiwa Pasal 33 UUD 1945 yang dijabarkan melalui UU no 4/2009.

Setidaknya ada dua komponen strategis dari kedua sektor tersebut yang akan dirugikan dan “dianak-tirikan” yaitu perusahaan-perusahaan mineral dan batubara nasional yang tidak dimasukkan dalam daftar lima perusahaan tambang yang mendapat hak-hak istimewa dan monopoli berdasarkan PP No 01/2014, maupun pelaku-pelaku bisnis pertambangan asing yang bermaksud merintis usaha baru di Indonesia, akan diperlakukan oleh ketentuan baru tersebut secara tidak setara dan tidak fair (adil). Alhasil, pada perkembangannya akan mematikan minat dunia usaha di dalam negeri maupun luar negeri untuk berinvestasi di Indonesia. Padahal, dengan hadirnya investor-investor asing pendatang  baru dalam berinvestasi di Indonesia, akan mampu mengimbangi dua perusahaan asing raksasa yang sudah bercokol di Indonesia cukup lama seperti Freeport dan Newmont. Sehingga akan tercipta iklim usaha yang jauh lebih sehat, berkeadilan dan didasarkan atas kesetaraan di antara pelaku-pelaku bisnis bidang mineral dan batubara dalam bertransaksi bisnis.

Sejarah Kelam Tambang Emas Freeport

Marwan Batubara, dalam bukunya yang cukup menarik berjudul “Menggugat Pengelolaan Sumberdaya Alam Menuju Negara Berdaula"t, menulis bahwa aktivitas pertambangan pertambangan PT Freeport McMoran Indonesia (Freeport) di Papua yang dimulai sejak 1967 hingga kini, telah berlangsung 47 tahun. Selama ini kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di Papua telah mencetak keuntungan finansial yang sangat besar bagi perusahaan asing, namun sampai sekarang belum memberikan manfaat optimal bagi negara, Papua, maupun masyarakat lokal di sekitar wilayah pertambangan tersebut.

Pada Maret 1973, Freeport memulai pertambangan terbuka di Ertsberg, kawasan yang selesai ditambang pada 1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter. Pada 1988, Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, yang masih berlangsung hingga saat ini.

Dari kedua eksploitasi di kedua wilayah ini, sekitar 7,3 juta ton tembaga dan 724,7 juta ton emas telah mereka keruk. Pada Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2,4 kilometer pada daerah seluas 499 ha dengan kedalaman 800 m2.

Aktivitas Freeport yang berlangsung dalam kurun waktu lama ini telah menimbulkan berbagai masalah, terutama dalam hal penerimaan negara yang tidak optimal, minimnya peran negara melalui BUMN dan BUMD untuk ikut mengelola tambang serta dampak lingkungan yang cukup menghancurkan dengan rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Ertsberg.

Singkat cerita, dengan perolehan keuntungan yang sangat besar yang diraup oleh Freeport, ternyata hanya sebagian kecil pendapatan yang masuk ke kas negara dibandingkan keuntungan yang diperoleh Freeport. Bahkan kehadiran Freeport pun tidak mampu menyejahterakan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan tersebut. Padahal, saat ini Freeport mengelola tambang terbesar di dunia di berbagai negara, yang di dalamnya termasuk 34,5 % tembaga dan 96,73% cadangan emas.

Yang menyedihkan lagi, jumlah volume emas yang ditambang Freeport selama 21 tahun tersebut ternyata tidak pernah diketahui publik. Sehingga tak heran jika beberapa anggota DPR RI Komisi VII sempat mencurigai adanya manipulasi dana atas potensi produksiu emas Freeport. DPR pun tidak percaya atas data kandungan konsentrat yang diinformasikan sepihak oleh Freeport.

Maka anggota DPR berkesimpulan bahwa negara telah dirugikan selama 30 tahun akibat tidak adanya pengawasan yang serius. Bahkan Departemen Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak dan Bea Cukai mengaku tidak tahu pasti berapa produksi Freeport berikut penerimaannya.

Bahkan di era pemerintahan Suharto, pada Maret 1998, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam pemandangan umum pada Sidang Umum MPR 1998, secara terbuka menyebut pembagian keuntungan antara Freeport dan pemerintah Indonesia adalah salah satu kontrak yang sangat merugikan negara dan rakyat Indonesia.

Misteri di Balik Peraturan Pemerintah No 01/2014

Sebuah informasi penting nampaknya layak untuk kita kemukakan untuk menjelaskan mengapa keluarnya PP No 01/2009 yang seharunya untuk menindaklanjuti semangat UU No 4/2009 yang sejiwa dengan pasal 33 UUD 1945, justru menjadi pintu masuk untuk memberi monopoli dan hak-hak istimewa kepada dua perusahaan asing Freeport dan Newmont.

Pada Februari 2014, terjadi pertemuan antara Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa dengan Menteri Luar Negeri AS John Kerry. Dalam pertemuan tersebut Menteri Luar Negeri Kerry mendesak Natalegawa untuk tidak melakasanakan UU No 4/2009. Menlu Kerry mengancam bahwa kalau Jakarta tidak setuju memberi monopoli kepada Freeport dan Newmont, maka Amerika tidak akan investasi lagi di Indonesia.

Apakah pertemuan Natalegawa-Kerry inilah yang mendasari pemberian monopoli Freeport dan Newmont menyusul keluarnya PP No 01/2009? Nampaknya memang benar begitulah adanya. Karena dengan pemberian monopoli kepada Freeport dan Newmont tersebut, berarti pemerintah Indonesia dengan sadar memberikan hak-hak istimewa kepada kedua perusahaan asing tersebut untuk melanggar dan menabrak UU No 4/2009.

Sehingga pada perkembangannya telah menciderai atau menghancurkan semangat dari kemitraan strategis yang sejajar dari kerangka hubungan bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Maka dari itu, kiranya amat penting dan strategis bagi presiden terpilih baru Indonesia 2014-2019 agar terus melaksanakan dan mengembangkan semangat pasal 33 UUD 1945 yang tercermin dalam Undang-Undang Mineral dan Batubara No 4/2009  tersebut, sehingga Indonesia tidak saja akan mencapai perkembangan ekonomi yang cukup signifikan, sekaligus juga adanya perkembangan teknologi baru yang canggih (high technology).

Yang mendasari keyakinan kita adalah, bahwa Indonesia ke depan tidak saja berpotensi di bidang sumberdaya alam, melainkan juga di bidang ekonomi dan teknologi. Sehingga amat disayangkan jika Indonesia hanya memfokuskan pada penjualan sumberdaya alam yang belum diolah.

Karena itu, dengan adanya kewajiban bagi perusahaan-perusahaan tambang agar membangun smelter(pabrik pengolahan) sebagaimana tercantum dalam UU No 4/2009, sebenarnya sudah benar dan tepat.

Hanya sayangnya, UU No 4/2009 tersebut kemudian dibajak oleh pemerintah melalui keluarnya PP No 01/2014, yang secara terang-terangan memberi monopoli dan hak-hak istimewa kepada dua perusahaan asing: Freeport dan Newmont.


 

Isu Hangat BALKANISASI NUSANTARA


23-02-2013
Tewasnya 8 TNI di Papua dan Skenario Balkanisasi Nusantara
Tewasnya 8 Anggota TNI di Papua, Babak Awal Skenario Balkanisasi Nusantara
Penulis : Hendrajit - Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Kejadian tewasnya 8 anggota TNI meski ini menyakitkan bagi TNI dan seluruh anak bangsa, namun kita harus berkepala dingin menangani ini. Ini hanya babakan awal dari yang pernah saya tulis di buku Tangan Tangan Amerika(Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia) terbitan 2010, bahwa dalam skema yang dirancang Pentagon melalui rekomendasi studi Rand Corporation, Indonesia harus dibagi 7 wilayah, yang mana salah satu prioritas jangka pendek adalah memerdekakan Papua. Ini adalah bagian dari BALKANISASI NUSANTARA.

Maka, kejadian tewasnya 8 anggota TNI, jangan dibaca semata sebagai konsekwesnsi Perang antara TNI dan OPM, tapi lebih dari itu, untuk membenturkan antara TNI dan warga sipil Papua, yang nantinya seakan semua warga sipil Papua adalah OPM.

Skema dan kebijakan strategis pemerintahan Obama pasca Bush ini harus dicermati secara seksama. Dengan jargon demokrasi dan penegakan HAM sebagai isu sentral, maka masalah masa depan Aceh dan Papua bisa menjadi duri dalam daging bagi hubungan Indonesia-Amerika ke depan.

Apalagi sebuah badan riset dan pengembangan strategis di Amerika bernama Rand Corporation, yang dikenal sering melayani secara akademis kepentingan Departemen Pertahanan Amerika (Pentagon) dan atas dukungan dana dari Pentagon, internasionalisasi Aceh ternyata masih merupakan isu sentral dan agenda mereka hingga sekarang. Bahkan dalam scenario building yang mereka gambarkan, wilayah Indonesia harus dipecah menjadi delapan bagian.

Sekadar informasi, rekomendasi Rand Corporation ihwal memecah Indonesia jadi 8 bagian tersebut dikeluarkan pada tahun 1998. Artinya, pada masa ketika Presiden Clinton masih menjabat sebagai presiden. Berarti rekomendasi Rand Corporation atas sepengetahuan dan sepersetujuan Presiden Clinton dan Pentagon.

Dengan demikian, menjadi cukup beralasan bahwa rekomendasi Rand Corporation tersebut akan dijadikan opsi oleh Obama. Karena rekomendasi Rand Corporation dikeluarkan ketika suami Hillary masih berkuasa.

Apa yang diinginkan oleh Pentagon dari skenario Rand Corporation Clinton..? itu Artinya, skenario ”Balkanisasi Nusantara” menjadi opsi yang logis untuk diterapkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika di era Obama dan Hillary Clinton.

Dalam skenario Balkanisasi ini, akan ada beberapa negara yang terpisah dari NKRI. Yang sudah terpisah Yaitu Timor Timur yang terjadi pada 1999 masa pemerinthana Habibie. Lalu Aceh, sepertinya sedang dalam proses dan berpotensi untuk pecah melalui “sandiwara” MoU Helsinki dan kemungkinan (telah) menangnya Partai Lokal di Aceh pada Pemilu 2009 tahun ini. Kemudian Ambon, Irian Jaya, Kalimantan Timur, Riau, Bali. Dan sisanya tetap Indonesia.

Anggap saja skenario ini memang sudah ditetapkan oleh pemerintahan Obama, maka besar kemungkinan skenario ini akan dijalankan Amerika tidak dengan menggunakan aksi militer.

Dalam skema ini, Diplomasi Publik Menlu Clinton akan menjadi elemen yang paling efektif untuk menjalankan skenario Balkanisasi Nusantara tersebut.

Dengan kata lain, mengakomodasi dan menginternasionalisasi masalah Aceh atau Irian Jaya, akan dipandang oleh Amerika sebagai bagian dari gerakan demokrasi dan penegakan HAM.

Dalam kaitan ini pula, Uni Eropa memang sejauh ini memang sudah menjadi pemain sentral di Aceh pasca MoU Helsinki. Misalnya saja Pieter Feith, Juha Christensen sementara dari persekutuan Inggris, Australia dan Amerika, mengandalkan pemain sentralnya pada Dr Damien Kingsbury dan Anthoni Zinni.

Mereka semua ini dirancang sebagai agen-agen lapangan yang tujuannya adalah memainkan peran sebagai mediator ketika skenario jalan buntu terjadi antara pihak pemerintah Indonesia dan gerakan separatis. Ketika itulah mereka-mereka ini menjadi aktor-aktor utama dari skenario internasionalisasi Aceh, Irian Jaya, dan daerah-daerah lainnya yang berpotensi untuk memisahkan diri dari NKRI.

Motivasi para penentu kebijakan luar negeri Amerika memang bisa dimengerti. Karena dengan lepasnya daerah-daerah tersebut, Amerika bisa mengakses langsung kepada para elite daerah tanpa harus berurusan dengan pemerintahan di Jakarta seperti sekarang ini.

Dorongan untuk memperoleh daerah pengaruh nampaknya memang bukan monopoli kepresidenan Bush. Obama pun pada hakekatnya bertujuan sama meski dengan metode yang berbeda.

Baik Bush maupun Obama agaknya menyadari bahwa konstalasi negara-negara di kawasan Amerika Latin yang notabene merupakan daerah halaman belakang mereka, ternyata semakin sulit untuk dikontrol. Dan bahkan berpotensi menjadi negara musuh Amerika.

Perkembangan terkini adalah menangnya calon presiden El Salvador yang berhaluan sosialis Mauricio Funes. Ekuador yang sekarang dipimpin oleh Presiden Rafael Correa seorang sosialis yang mengagendakan perlunya revolusi dalam ekonomi, pendidikan dan kesehatan.

Brazil sejak masa kepresidenan Luis Inacio Lula memprioritaskan pengamanan energi, Evo Morales dari Bolivia yang menekankan programnya pada nasionalisasi industri gas, pertambangan dan kehutanan. Serta pengembalian tanah rakyat kepada petani miskin, perlindungan warga Indian, dan sebagainya.

Beberapa presiden Amerika Latin yang berhaluan kiri-tengah adalah Presiden Chilie Michele Bachelet dan Presiden Peru Alan Garcia. Dan di atas itu semua, Hugo Chavez dari Venezuela yang belakangan perseteruannya dengam Amerika semakin menajam justru ketika Amerika dipimpin Obama yang lebih moderat dari Bush.

Perkembangan beruntun di Amerika Latin tersebut tentu saja mencemaskan Amerika, meski sebagai negara kecil tidak perlu dikhawatirkan secara kemiliteran. Namun ketika negara-negara tersebut tidak lagi kooperatif baik secara politik maupun ekonomi, jelas hal ini sangatlah mengganggu.

Apalagi ketika hal itu kemudian memicu kedekatan negara-negara latin tersebut kepada Cina, Rusia, Korea Utara, Iran dan lain sebagainya.


 
Skenario Kosovo untuk Papua Merdeka
Ini bukan rumor ini bukan gosip. Sebuah sumber di lingkungan Departemen Luar Negeri mengungkap adanya usaha intensif dari beberapa anggota kongres dari Partai Demokrat Amerika kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk membantu proses ke arah kemerdekaan Papua secara bertahap.

Menarik juga informasi ini jika benar. Karena dengan tampilnya Presiden Barrack Obama di tahta kepresidenan Gedung Putih, praktis politik luar negeri Amerika amat diwarnai oleh haluan Partai Demokrat yang memang sangat mengedepankan soal hak-hak asasi manusia. Karena itu tidak heran jika Obama dan beberapa politisi Demokrat yang punya agenda memerdekakan Papua lepas dari Indonesia, sepertinya memang akan diberi angin.

Beberapa fakta lapangan mendukung informasi sumber kami di Departemen Luar Negeri tersebut. Betapa tidak. Dalam dua bulan terakhir ini, US House of Representatives, telah mengagendakan agar DPR Amerika tersebut mengeluarkan rancangan FOREIGN RELATION AUTHORIZATION ACT (FRAA) yahg secara spesifik memuat referensi khusus mengenai Papua.


Undang-Undang Foreign Relation Authorization Act (FRAA) Pintu Masuk Menuju Papua Merdeka

Kalau RUU FRAA ini lolos di kongres Amerika, maka Amerika akan menindaklanjuti UU FRAA ini melalui serangkaian operasi politik dan diplomasi yang target akhirnya adalah meyakinkan pihak Indonesia untuk melepaskan, atau setidaknya mengkondisikan adanya otonomi khusus bagi Papua, untuk selanjutnya memberi kesempatan kepada warga Papua untuk menentukan nasibnya sendiri.

Skenario semacam ini jelasnya sangat berbahaya dari segi keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan sialnya kita juga lemah di fron diplomasi maupun fron intelijen. Padahal, skema di balik dukungan Obama dan Demokrat melalui UU FRAA, justru diplomasi dan intelijen menjadi strategi dan sarana yang dimainkan Washington untuk menggolkan kemerdekaan Papua.

Karena itu, kita harus mewaspadai beberapa kasus kerusuhan yang meletus di Papua, bahkan ketika pemilihan presiden 8 Juli 2009 lalu sedang berlangsung.

Mari kita kilas balik barang sejenak. 13 Mei 2009, terjadi provokasi paling dramatis, ketika beberapa elemen OPM menguasai lapangan terbang perintis Kapeso, Memberamo, yang dipimpin oleh disertir tentara, Decky Embiri. Meski demikian, berkat kesigapan aparat TNI, pada 20 Juni 2009 berhasil dipukul mundur.

Namun provokasi OPM nampaknya tidak sampai di situ saja. 24 Juni 2009, OPM menyerang konvoi kendaraan polisi menuju Pos Polisi Tingginambut. Konvoi diserang di kampung Kanoba, Puncak Senyum, Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya. Anehnya, kejadian ini hanya 50 meter dari pos milik TNI.

Dalam kejadian di Tingginambut ini, seorang anggota Brimob Polda Papua tewas tertembak. Singkat cerita, inilah sekelumit kisah bagaimana sepanjang tahun 2009 ini OPM telah melakukan penyerangan di kawasan Tingginambut hingga tujuh kali serangan.

Jika kita cermati melalui manuver politik politisi Demokrat menggolkan RUU FRAA di Washington dengan kejadian kerusuhan berantai di Papua, bisa dipastikan kedua kejadian tersebut berkaitan satu sama lain.

Dalam teori operasi intelijen, serentetan kerusuhan yang dipicu oleh OPM dengan memprovokasi TNI dan Polri, maka tujuannya tiada lain untuk menciptakan suasana chaos dan meningkatnya polarisasi terbuka antara TNI-Polri dan OPM yang dicitrakan sebagai pejuang kemerdekaan.

Skenario semacam ini sebenarnya bukan jurus baru bagi Amerika mengingat hal ini sudah dilakukan mantan Presiden Bill Clinton ketika mendukung gerakan Kosovo merdeka lepas dari Serbia, dan bahkan juga mendukung terbentuknya Kosovo Liberation Army (KLA).

Seperti halnya ketika Clinton mendukung KLA, Obama sekarang nampaknya hendak mencitrakan OPM sebagai entitas politik yang masih eksis di Papua dengan adanya serangkaian kerusuhan yang dipicu oleh OPM sepanjang 2009 ini.

Lucunya, beberapa elemen LSM asing di Papua, akan menyorot setiap serangan balasan TNI dan Polri terhadap ulah OPM memicu kerusuhan, sebagai tindakan melanggar HAM.

Tapi sebenarnya ini skenario kuno yang mana aparat intelijen kita seperti BIN maupun BAIS seharusnya sudah tahu hal akan dimainkan Amerika ketika Obama yang kebetulan sama-sama dari partai Demokrat, tampil terpilih sebagai Presiden Amerika.

Isu-isu HAM, memang menjadi ”jualan politik” Amerika mendukung kemerdekaan Papua. Karena melalui sarana itu pula Washington akan memiliki dalih untuk mengintervensi penyelesaian internal konflik di Papua.

Di sinilah sisi rawan UU FRAA jika nantinya lolos di kongres. Sebab dalam salah satu klausulnya, mengharuskan Departemen Luar Negeri Amerika melaporkan kepada kongres Amerika terkait pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua.

Bisa jadi inilah salah satu kesepakatan diam-diam antara Obama dan LSM-LSM pro OPM ketika pri alumni Fakultas Hukum Universitas Harvard ini masih menjadi calon presiden. Jika memang benar, Obama berada dalam tekanan kuat untuk mendukung agenda ini lolos di kongres.

Pelanggaran HAM memang harus diakui menjadi isu sentral yang diangkat beberapa LSM pro OPM. Misalnya saja West Papua People’s Representative and OPM. Kelompok ini selain mengembangkan website wpik.org, menurut berbagai sumber juga mendapat dana dari sejumlah perusahaan asing.

Meski OPM belum sekuat GAM Aceh dalam menancapkan pengaruh-pengaruhnya di kalangan elit dan kelompok-kelompok basis di Papua, namun lobi-lobi OPM dengan dukungan beberapa LSM asing memang tidak sekali-kali untuk diremehkan.

20 Juli 2005 lalu misalnya, berhasil meloloskan sebuah draft RUU yang salah satu klausulnya, mempertanyakan kembali keabsahan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) dalam mendukung kemerdekaan Papua. Sekaligus juga mengkritik pelaksanaan otonomi khusus di Papua.

RUU yang kelak dikenal dengan HR (House of Representatives) 2601 itu, akhirnya sempat beredar dua versi informasi. Yang pertama mengatakan telah dicabut karena mengagendakan Papua sekarang ini sudah tidak relevan lagi sehingga tidak akan menjadi hukum. Adapun versi kedua justru masih beranggapan RUU yang membahas penelitian ulang atas proses masuknya Papua ke Indonesia sampai sekarang belum dibatalkan.

Sebaiknya kita di Indonesia lebih mempercayai versi kedua ini. Mengingat versi ini justru disampaikan oleh Ketua Sub-komisi Asia-Pasifik dalam komisi Hubungan Luar Negeri Kongres Amerika.

Dan yang harus lebih diwaspadai lagi, HR2601 tersebut lingkupnya juga bisa mencakup semua kasus dan isu serupa yang terjadi di dunia. Meskipun bisa-bisa saja yang menyatakan secara eksplisit kasus Papua Barat sudah dihapuskan. Namun secara substansial, kasus Papua tetap saja dalam pantauan dan penelitian para anggota kongres Partai Demokrat.


Beberapa Sosok Asing di balik Gerakan Pro Papua Merdeka

Salah satu sosok yang harus dicermati adalah Eni Faleomavaega, Ketua Black Caucuses Amerika yang mengkampanyekan Irian Jaya sebagai koloni VOC bukan koloni Belanda di Kongres Amerika. Kabarnya, perwakilan Partai Demokrat dari American Samoa ini memimpin sekitar 38 anggota Black Caucuses yang mengklaim bahwa cepat atau lambat Papua akan merdeka.

Pengaruh tokoh satu ini ternyata tidak bisa dianggap enteng. Pada 2002, tak kurang dari Departemen Luar Negeri AS terpaksa mengeluarkan menerbitkan Buku Putih Deplu tentang Papua pada 2002. Disebutkan bahwa Irian Jaya masuk Indonesia pada 1826. Sementara Pepera merupakan pengesahan atau legalitas masuknya Irian Jaya ke NKRI pada 1969.

Bayangkan saja, Departemen Luar Negeri AS sampai harus meladeni seorang anggota parlemen seperti Eni Faleomavaega. Dan ternyata manuver Eni tidak sebatas di Amerika saja. Melalui LSM yang dia bentuk, Robert Kennedy Memorial Human Right Center, Eni dan 9 orang temannya dari Partai Demokrat, melakukan tekanan terhadap Perdana Menteri John Howard, agar memberi perlindungan terhadap 43 warga Papua yang mencari suaka di di Australia. Alasannya, mereka ini telah menjadi korban pelanggaran HAM TNI.

Di Australia, Bob Brown, politisi Partai Hijau Australia, juga santer mendukung gerakan pro Papua Merdeka, dengan mendesak pemerintahan Howard ketika itu untuk mendukung proses kemerdekaan Papua. Tentu saja usul gila-gilaan itu ditampik Howard, namun sebagai kompensasi, pemerintah Australia memberikan visa sementara kepada 42 pencari suaka asal Papua.

Tentu saja hubungan diplomatik Australia-RI jadi memanas, apalagi berkembang isu ketika itu bahwa ke-43 warga Papua cari suaka ke Australia itu sebenarnya merupakan “agen-agen binaan” Australia yang memang akan ditarik mundur kembali ke Australia. Artinya, permintaan suaka itu hanya alasan saja agar mereka tidak lagi bertugas menjalankan operasi intelijen di Papua. Mungkin kedoknya sebagai jaringan intelijen asing di Papua, sudah terbongkar kedoknya oleh pihak intelijen Indonesia.

Dan isyarat ini secara gamblang dinyatakan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Widodo AS. Menurut Widodo, pemberian visa sementara kepada warga Papua oleh Australia, telah membenarkan adanya spekulasi adanya elemen-elemen di Australia yang membantu usaha kemerdekaan Papua.

Menurut penulis, dan kami-kami di Global Future Institute, pernyataan Widodo sebenarnya sebuah sindiran atau serangan halus terhadap gerakan asing pro Papua merdeka. Bahwa yang sebenarnya bukan sekadar adanya elemen-elemen di Australia yang membantu kemerdekaan Papua, tapi memang ada suatu operasi intelijen dengan target utama adanya Papua Merdeka terpisah dari NKRI.

Selain Amerika dan Australia, manuver Papua Merdeka di Inggris kiranya juga harus dicermati secara intensif. 15 Oktober 2008, telah diluncurkan apa yang dinamakan International Parliaments for West Papua (IPWP) di House of Commons, atau DPR-nya Kerajaan Inggris.

Misi IPWP tiada lain kecuali mengangkat masalah Papua di fora internasional. Meski tidak mewakili negara ataupun parlemen suatu negara, namun sepak-terjang IPWP tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab IPWP bisa menjadi kekuatan penekan agar digelar referendum di Papua, penarikan pasukan TNI dari Papua, penempatan pasukan perdamaian di Papua di bawah pengawasan PBB.

Jelaslah sudah ini sebuah agenda berdasarkan skema Kosovo merdeka. Apalagi ketika IPWP juga mendesak Sekjen PBB meninjau kembali peranan PBB dalam pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (pepera) 1969, sekaligus mengirim peninjau khusus PBB untuk memantau situasi HAM di Papua.

Agar kita sebagai elemen bangsa yang tidak ingin kehilangan provinsi yang kedua kali setelah Timor Timur, ada baiknya kita mencermati skenario Kosovo merdeka.

Kosovo terpisah dari negara bagian Serbia pada 17 Februari 2008. Dengan didahului adanya tuduhan pelanggaran HAM di provinsi Kosovo. Papua Barat dianggap mempunyai kesamaan latarbelakang dengan Kosovo. Yaitu, Indonesia dan Serbia dipandang punya track record buruk pelanggaran HAM terhadap rakyatnya. Sehingga mereka mengembangkan isu bahwa Kosovo perlu mendapat dukungan internasional. Inilah yang kemudian PBB mengeluarkan resolusi Dewan Keamanan PBB 244 .

Seperti halnya juga dengan Kosovo yang memiliki nilai strategis dalam geopolitik di mata Amerika dan Inggris, untuk menghadapi pesaing globalnya, Rusia. Begitu pula di Papua, ketika perusahaan tambang Amerika Freeport dan perusahaan LNG Inggris, merupakan dua aset ekonomi mereka untuk mengeruk habis kekayaan alam di bumi Papua. Sekaligus untuk strategi pembendungan AS terhadap pengaruh Cina di Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara.

Balkanisasi Nusantara

1.Indonesia ada rencana hendak dibelah dengan memakai model Polinesia (negara pulau) di Lautan Pasifik. Sehingga mulai beredar pengguliran Isu Negara Timor Raya di Provinsi Nusa Tenggara Timur mulai santer terdengar.

2. Indonesia akan dibelah jadi tiga negara dengan berdasar pada klasifikasi provinsi ekonomi kuat dengan rincian sebagai berikut:
A. Aceh, Riau dan United Borneao(Kalimantan).
B. Pusat wisata dan seni dunia semacam Bali, Flores, Maluku dan Manado,
C. Jawa, Sunda dan Daerah Khusus Jakarta.

MODUS OPERANDI
Dengan melihat perkembangan terkini berdasarkan prakarsa dua anggota Kongres AS untuk menggolkan seruan resolusi agar Baluchistan diberi hak sejarah menentukan nasib sendiri dan negara sendiri, lepas dari Pakistan, maka Global Future Institute merasa perlu mengingatkan kemungkinan langkah langkah dua tahap yang akan ditempuh Amerika Serikat dan Sekutu-sekutu Eropanya:

1. Melakukan Internasionalisasi Isu Provinsi yang bermaksud ingin merdeka dan lepas dari negara induknya. Keberhasilan prakarsa dua anggota Kongres AS menggolkan resolusi Baluchistan, bisa jadi preseden bagi langkah serupa terhadap Papua.

2. Seiring dengan keberhasilan gerakan meng-internasionalisasi provinsi yang diproyeksikan akan jadi merdeka, maka REFERENDUM kemudian dijadikan pola dan modus operandi memerdekakan sebuah provinsi dan lepas dari negara induk.

Demikian, semoga menjadi perhatian dan kewaspadaan semua elemen bangsa, dan pemegang otoritas pemerintahan.

Pertarungan Hidup Mati

SAKSI KUNCI PELANGGARAN HAM

Prabowo dalam wawancara dengan TELEVISI BBC

Copyright @ 2013 KABAR INDONESIA. Designed by Templateism