April
2014, tepatnya beberapa bulan setelah keluarnya Peraturan Pemerintah
nomor 01 tahun 2014 yang seharusnya merupakan petunjuk pelaksanaan jiwa
dari Undang-Undang Minerba no 4 tahun 2009, secara tiba-tiba Kementerian
Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) mengeluarkan rekomendasi izin
ekspor kepada dua perusahaan tambang asing PT Freeport Indonesia dan PT
Newmont Nusa Tenggara. Bahkan pada perkembangannya kemudian,ada tiga
perusahaan tambang lainnya yang akan diberikan rekomendasi oleh
Kementerian ESDM yaitu PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO), PT Lumbung
Mineral Sentosa, serta PT Damar Narmada Bakti.
Perkembagan ini barang tentu amat memprihatinkan para pemangku
kepentingan pertambangan yang bergerak di sektor tambang dan batubara
baik dari dalam maupun luar negeri. Karena dengan rekomendasi terhadap
dua perusahaan asing PT Freeport dan PT Newmont Nusa Tenggara bisa kit
abaca sebagai kebijakan pemerintah untuk memberikan monopoli dan hak-hak
istimewa terhadap kedua perusahaan asing tersebut. Apalagi keduanya,
telah mempertunjukkan reputasi buruknya dalam mengeruka sumberdaya alam
kita di kedua sektor tersebut.
Padahal Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa maupun Menteri
ESDM dalam keterangan persnya 11 Januari 2014 telah menegaskan
bahwadalam rangka untuk meningkatkan nilai kedua sektor tersebut, maka
terhitung sejak 12 Januari 2014, mulai diberlakukannya Undang-Undang no
4/2009, tidak lagi dibenarkan untuk mengekspor mineral mentah.
Melalui arah kebijakan yang terkandung dalam PP No 01/2014 tersebut,
sebenarnya sejiwa dengan Pasal 33 UUD 1945 ayat 2 dan 3 maupun UU No
4/2009, karena menegaskan kewajiban bagi perusahaan-perusahaan yang
bergerak di sektor mineral dan batubara untuk membangun smelter (pabrik
pengolahan), sebagai prasyarat agar perusahaan-perusahaan yang bergerak
di sektor tersebut mendapat izin ekspor.
Sebenarnya jika UU no. 4/2009 maupun PP No.01/2014 dijalankan secara
konsisten, perusahaan-perusahaan tambang asing berskala global seperti
Freeport dan Newmont yang paling terkena dampak secara langsung
mengingat selama ini Freeport tidak pernah transparan dan terbuka dalam
menginformasikan berapa sesungguhnya kekayaan yang berhasil mereka raup
dari penambangannya di Papua.
Namun, kebijakan pemerintahan SBY untuk memberikan monopoli dah hak-hak
istimewa yang disamarkan melalui Peraturan Pemerintah No 01/2014 yang
dikeluarkan Kementerian ESDM, pada perkembangannya telah menghancurkan
jiwa Pasal 33 UUD 1945 yang dijabarkan melalui UU no 4/2009.
Setidaknya ada dua komponen strategis dari kedua sektor tersebut yang
akan dirugikan dan “dianak-tirikan” yaitu perusahaan-perusahaan mineral
dan batubara nasional yang tidak dimasukkan dalam daftar lima perusahaan
tambang yang mendapat hak-hak istimewa dan monopoli berdasarkan PP No
01/2014, maupun pelaku-pelaku bisnis pertambangan asing yang bermaksud
merintis usaha baru di Indonesia, akan diperlakukan oleh ketentuan baru
tersebut secara tidak setara dan tidak fair (adil). Alhasil,
pada perkembangannya akan mematikan minat dunia usaha di dalam negeri
maupun luar negeri untuk berinvestasi di Indonesia. Padahal, dengan
hadirnya investor-investor asing pendatang baru dalam berinvestasi di
Indonesia, akan mampu mengimbangi dua perusahaan asing raksasa yang
sudah bercokol di Indonesia cukup lama seperti Freeport dan Newmont.
Sehingga akan tercipta iklim usaha yang jauh lebih sehat, berkeadilan
dan didasarkan atas kesetaraan di antara pelaku-pelaku bisnis bidang
mineral dan batubara dalam bertransaksi bisnis.
Sejarah Kelam Tambang Emas Freeport
Marwan Batubara, dalam bukunya yang cukup menarik berjudul “Menggugat
Pengelolaan Sumberdaya Alam Menuju Negara Berdaula"t, menulis bahwa
aktivitas pertambangan pertambangan PT Freeport McMoran Indonesia
(Freeport) di Papua yang dimulai sejak 1967 hingga kini, telah
berlangsung 47 tahun. Selama ini kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport di
Papua telah mencetak keuntungan finansial yang sangat besar bagi
perusahaan asing, namun sampai sekarang belum memberikan manfaat optimal
bagi negara, Papua, maupun masyarakat lokal di sekitar wilayah
pertambangan tersebut.
Pada Maret 1973, Freeport memulai pertambangan terbuka di Ertsberg,
kawasan yang selesai ditambang pada 1980-an dan menyisakan lubang
sedalam 360 meter. Pada 1988, Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa
lainnya, Grasberg, yang masih berlangsung hingga saat ini.
Dari kedua eksploitasi di kedua wilayah ini, sekitar 7,3 juta ton
tembaga dan 724,7 juta ton emas telah mereka keruk. Pada Juli 2005,
lubang tambang Grasberg telah mencapai diameter 2,4 kilometer pada
daerah seluas 499 ha dengan kedalaman 800 m2.
Aktivitas Freeport yang berlangsung dalam kurun waktu lama ini telah
menimbulkan berbagai masalah, terutama dalam hal penerimaan negara yang
tidak optimal, minimnya peran negara melalui BUMN dan BUMD untuk ikut
mengelola tambang serta dampak lingkungan yang cukup menghancurkan
dengan rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Ertsberg.
Singkat cerita, dengan perolehan keuntungan yang sangat besar yang
diraup oleh Freeport, ternyata hanya sebagian kecil pendapatan yang
masuk ke kas negara dibandingkan keuntungan yang diperoleh Freeport.
Bahkan kehadiran Freeport pun tidak mampu menyejahterakan masyarakat di
sekitar wilayah pertambangan tersebut. Padahal, saat ini Freeport
mengelola tambang terbesar di dunia di berbagai negara, yang di dalamnya
termasuk 34,5 % tembaga dan 96,73% cadangan emas.
Yang menyedihkan lagi, jumlah volume emas yang ditambang Freeport
selama 21 tahun tersebut ternyata tidak pernah diketahui publik.
Sehingga tak heran jika beberapa anggota DPR RI Komisi VII sempat
mencurigai adanya manipulasi dana atas potensi produksiu emas Freeport.
DPR pun tidak percaya atas data kandungan konsentrat yang diinformasikan
sepihak oleh Freeport.
Maka anggota DPR berkesimpulan bahwa negara telah dirugikan selama 30
tahun akibat tidak adanya pengawasan yang serius. Bahkan Departemen
Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak dan Bea Cukai mengaku tidak
tahu pasti berapa produksi Freeport berikut penerimaannya.
Bahkan di era pemerintahan Suharto, pada Maret 1998, Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dalam pemandangan umum pada Sidang Umum MPR 1998,
secara terbuka menyebut pembagian keuntungan antara Freeport dan
pemerintah Indonesia adalah salah satu kontrak yang sangat merugikan
negara dan rakyat Indonesia.
Misteri di Balik Peraturan Pemerintah No 01/2014
Sebuah informasi penting nampaknya layak untuk kita kemukakan untuk
menjelaskan mengapa keluarnya PP No 01/2009 yang seharunya untuk
menindaklanjuti semangat UU No 4/2009 yang sejiwa dengan pasal 33 UUD
1945, justru menjadi pintu masuk untuk memberi monopoli dan hak-hak
istimewa kepada dua perusahaan asing Freeport dan Newmont.
Pada Februari 2014, terjadi pertemuan antara Menteri Luar Negeri RI
Marty Natalegawa dengan Menteri Luar Negeri AS John Kerry. Dalam
pertemuan tersebut Menteri Luar Negeri Kerry mendesak Natalegawa untuk
tidak melakasanakan UU No 4/2009. Menlu Kerry mengancam bahwa kalau
Jakarta tidak setuju memberi monopoli kepada Freeport dan Newmont, maka
Amerika tidak akan investasi lagi di Indonesia.
Apakah pertemuan Natalegawa-Kerry inilah yang mendasari pemberian
monopoli Freeport dan Newmont menyusul keluarnya PP No 01/2009?
Nampaknya memang benar begitulah adanya. Karena dengan pemberian
monopoli kepada Freeport dan Newmont tersebut, berarti pemerintah
Indonesia dengan sadar memberikan hak-hak istimewa kepada kedua
perusahaan asing tersebut untuk melanggar dan menabrak UU No 4/2009.
Sehingga pada perkembangannya telah menciderai atau menghancurkan
semangat dari kemitraan strategis yang sejajar dari kerangka hubungan
bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat.
Maka dari itu, kiranya amat penting dan strategis bagi presiden
terpilih baru Indonesia 2014-2019 agar terus melaksanakan dan
mengembangkan semangat pasal 33 UUD 1945 yang tercermin dalam
Undang-Undang Mineral dan Batubara No 4/2009 tersebut, sehingga
Indonesia tidak saja akan mencapai perkembangan ekonomi yang cukup
signifikan, sekaligus juga adanya perkembangan teknologi baru yang
canggih (high technology).
Yang mendasari keyakinan kita adalah, bahwa Indonesia ke depan tidak
saja berpotensi di bidang sumberdaya alam, melainkan juga di bidang
ekonomi dan teknologi. Sehingga amat disayangkan jika Indonesia hanya
memfokuskan pada penjualan sumberdaya alam yang belum diolah.
Karena itu, dengan adanya kewajiban bagi perusahaan-perusahaan tambang
agar membangun smelter(pabrik pengolahan) sebagaimana tercantum dalam UU
No 4/2009, sebenarnya sudah benar dan tepat.
Hanya sayangnya, UU No 4/2009 tersebut kemudian dibajak oleh pemerintah
melalui keluarnya PP No 01/2014, yang secara terang-terangan memberi
monopoli dan hak-hak istimewa kepada dua perusahaan asing: Freeport dan
Newmont.
|
0 komentar:
Posting Komentar